Sunday, January 19, 2025

KISAH REMBULAN [ARJUNA]




Arjuna: Sang Penari Kehidupan



Fajar merekah di ufuk timur, semburat jingga membelai langit Jakarta. Namun, cahaya mentari pagi itu tak mampu menembus kelam yang menyelimuti hati Arjuna. Ia terbangun dengan sejuta tanya yang berkelindan, menggerogoti jiwanya. Pertanyaan Bu Widya, dosen pembimbing skripsinya, bagai hantu yang terus membayanginya.

"Arjuna, bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja di penghujung pertemuan mereka kemarin. Sederhana, namun menohok sanubari Arjuna. Bagaimana ia akan menari? Ia bahkan tak tahu irama apa yang harus diikuti, tak tahu panggung mana yang akan ia pijak.

Arjuna, pemuda dengan tatapan mata sendu dan jiwa yang penuh gejolak, merasa terjebak dalam pusaran ketidakpastian. Ia bagai kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing di lautan kehidupan. Skripsi yang tak kunjung rampung, mimpi yang terkubur debu, dan masa depan yang buram, semua bercampur aduk menjadi simfoni kekalutan.

Di tengah kemelut batinnya, Arjuna teringat akan perkataan Ki Ageng, seorang dalang wayang kulit yang pernah ditemuinya di sebuah pementasan. "Hidup itu panggung sandiwara, Nak. Setiap manusia adalah lakon dengan peran yang berbeda-beda. Ada yang menjadi raja, ada yang menjadi rakyat jelata, ada yang menjadi pahlawan, ada yang menjadi penjahat. Tapi, ingatlah, setiap lakon memiliki kebebasan untuk menafsirkan perannya, untuk menari dengan gayanya sendiri."

Kata-kata Ki Ageng bagai suluh yang menerangi kegelapan hati Arjuna. Ya, ia adalah lakon dalam panggung kehidupannya sendiri. Ia memiliki kebebasan untuk memilih peran, untuk menari dengan irama yang ia ciptakan. Tapi, bagaimana ia bisa menari jika kakinya terbelenggu keraguan, jika jiwanya terpenjara ketakutan?

Arjuna memutuskan untuk mencari jawaban. Ia mulai menjelajahi lorong-lorong perpustakaan, menelusuri jejak-jejak pemikiran para filsuf, sastrawan, dan seniman. Ia membaca Nietzsche yang berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Sartre yang mengulas tentang eksistensialisme, Khalil Gibran yang merangkai kata-kata indah tentang cinta dan kehidupan.

Ia mendaki gunung, menyelami samudra, dan mengembara ke pelosok negeri. Ia berdialog dengan alam, bercengkrama dengan manusia dari berbagai latar belakang, dan belajar dari setiap pengalaman yang ia temui.

Perlahan, kabut yang menyelimuti pikiran Arjuna mulai tersingkap. Ia menyadari bahwa hidup adalah sebuah perjalanan penemuan jati diri, sebuah proses pencarian makna di tengah lautan eksistensi. Ia menyadari bahwa kebebasan memilih adalah anugerah sekaligus tanggung jawab, sebuah kekuatan yang harus digunakan dengan bijak.

Arjuna kembali ke kampus dengan semangat baru. Ia menuntaskan skripsinya dengan penuh dedikasi, menuangkan seluruh pemikiran dan perenungannya ke dalam setiap baris kalimat. Ia tak lagi sekadar mengejar gelar sarjana, tapi juga mengejar pencerahan, mengejar makna di balik setiap kata yang ia tulis.

Setelah lulus, Arjuna memutuskan untuk tidak mengikuti arus. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan multinasional dan memilih untuk menjadi seorang penulis lepas. Ia ingin bebas mengekspresikan diri, bebas menari di panggung kehidupannya dengan irama yang ia ciptakan sendiri.

Ia menulis tentang keresahan sosial, tentang keindahan alam, tentang cinta dan kehilangan, tentang pencarian jati diri. Tulisannya mengalir bagai air sungai, jernih dan penuh makna. Ia menari dengan kata-kata, merangkai kisah-kisah yang menyentuh hati, menggugah jiwa, dan menginspirasi banyak orang.

Suatu hari, Arjuna bertemu kembali dengan Bu Widya di sebuah acara seminar sastra. Bu Widya terkesima membaca kumpulan cerpen Arjuna yang baru saja diterbitkan.

"Arjuna," ucap Bu Widya dengan mata berkaca-kaca, "kau telah menemukan iramamu sendiri. Kau telah menari dengan indah di panggung kehidupanmu."

Arjuna tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan Bu Widya. Ia telah menemukan caranya untuk menari di panggung kehidupan.

Dan tariannya itu, adalah sebuah simfoni kehidupan yang penuh makna, sebuah mahakarya yang tercipta dari kebebasan memilih, keberanian menghadapi ketidakpastian, dan tekad untuk menari dengan irama hati nurani.


***


Kopi hitam tanpa gula, setia menemani Arjuna di meja kerjanya. Di luar, hujan deras mengguyur kota, membasahi jalanan aspal dan dedaunan di pepohonan. Suara gemericik air beradu dengan denting keyboard laptop, menciptakan melodi sendu yang menghanyutkan. Arjuna larut dalam dunianya sendiri, jari-jarinya menari lincah di atas tuts keyboard, merangkai kata demi kata menjadi untaian kalimat yang puitis.


Di layar laptop, sebuah cerita mulai terbentang. Kisah tentang seorang musafir yang mengembara mencari jati diri, melintasi padang pasir, mendaki gunung tertinggi, menyelami lautan terdalam. Ia berdialog dengan para dewa di puncak gunung, bertukar pikiran dengan para jin di dasar laut, dan berbagi cerita dengan manusia dari berbagai suku dan bangsa.

Musafir itu adalah Arjuna sendiri, refleksi dari jiwanya yang haus akan makna, akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mengganggunya. Ia mencari arti hidup, mencari tujuan di balik segala hiruk pikuk dunia, mencari cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti zaman.

Tiba-tiba, ponsel Arjuna berdering, membuyarkan konsentrasinya. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Dengan sedikit ragu, Arjuna mengangkat telepon.

"Halo?"

"Halo, apakah ini dengan Arjuna?" Suara seorang wanita terdengar di seberang sana.

"Ya, benar. Ini siapa?"

"Saya Rani, dari penerbit Pustaka Jaya. Kami tertarik dengan tulisan-tulisan Anda yang dimuat di website Fiksiana. Kami ingin menawarkan kerja sama untuk menerbitkan karya Anda dalam bentuk buku."

Jantung Arjuna berdetak kencang. Ia tak menyangka tulisannya akan menarik perhatian penerbit besar seperti Pustaka Jaya. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh ia sia-siakan.

"Tentu saja, saya sangat tertarik," jawab Arjuna dengan antusias.

Percakapan singkat itu menjadi titik balik dalam perjalanan Arjuna sebagai penulis. Ia mulai serius menekuni dunia kepenulisan, mengasah bakatnya, dan menghasilkan karya-karya yang semakin berkualitas. Namanya mulai dikenal di kalangan pecinta sastra, tulisannya menghiasi halaman-halaman majalah dan surat kabar, bahkan diadaptasi menjadi film layar lebar.

Namun, di tengah kesuksesannya, Arjuna tak pernah melupakan pesan Bu Widya, "Bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?" Ia menyadari bahwa kesuksesan hanyalah salah satu aspek dari kehidupan, bukan tujuan akhir. Ia tetap rendah hati, terus belajar, dan selalu mencari cara untuk memberi makna pada hidupnya.

Arjuna aktif dalam kegiatan sosial, membantu anak-anak kurang mampu, dan menyuarakan kepeduliannya terhadap isu-isu lingkungan. Ia menggunakan popularitasnya untuk menginspirasi orang lain, untuk mengajak mereka menari di panggung kehidupan dengan irama hati nurani.

Suatu ketika, Arjuna diundang untuk memberikan seminar di almamaternya. Di hadapan ratusan mahasiswa, ia berbagi kisah perjalanannya, tentang bagaimana ia menemukan irama hidupnya sendiri.

"Hidup adalah panggung, dan kita semua adalah penari," ujar Arjuna dengan penuh semangat. "Kita bebas memilih irama, bebas mengekspresikan diri, dan bebas menciptakan tarian kita sendiri. Tapi, ingatlah, tarian yang paling indah adalah tarian yang lahir dari hati nurani, tarian yang memberi makna bagi diri sendiri dan orang lain."

Di akhir seminar, seorang mahasiswa mengacungkan tangan dan bertanya, "Kak Arjuna, bagaimana kita bisa menemukan irama hidup kita sendiri?"

Arjuna tersenyum. "Dengan berani melangkah, dengan berani mencoba, dengan berani mengejar mimpi. Jangan takut gagal, jangan takut jatuh. Karena setiap langkah, setiap kegagalan, adalah bagian dari tarian kehidupan kita."

Arjuna mengakhiri seminar dengan sebuah pesan yang menggugah, "Jadilah penari yang bebas, penari yang berani, penari yang menari dengan irama hati nurani. Ciptakan tarian kehidupanmu sendiri, dan jadikan dunia sebagai panggungmu!"

Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Di antara kerumunan mahasiswa, Arjuna melihat sosok Bu Widya yang tersenyum bangga. Ia tahu, tariannya di panggung kehidupan baru saja dimulai.


***


Tahun-tahun berlalu, Arjuna menjelma menjadi penulis ternama. Karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa, memenangi penghargaan bergengsi, dan diadaptasi ke berbagai media, dari teater hingga komik. Ia menjelajahi dunia, menghadiri festival sastra internasional, berdiskusi dengan penulis-penulis hebat dari berbagai belahan bumi.

Namun, di tengah gemerlap dunia literasi, Arjuna tetaplah Arjuna yang dulu. Pemuda dengan tatapan sendu yang menyimpan sejuta makna. Ia tak silau oleh popularitas, tak terlena oleh pujian. Ia tetap membumi, mengingat asal-usulnya, dan menghargai setiap orang yang bertemu dengannya.

Arjuna tak pernah lupa akan pertanyaan Bu Widya yang telah membangkitkan kesadarannya. Ia selalu merenungkan makna hidup, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak pernah habis digali. Ia menulis bukan hanya untuk menghibur atau mendidik, tetapi juga untuk menemukan makna, untuk memahami hakikat keberadaan manusia.

Suatu hari, Arjuna menerima surat dari seorang pembaca di sebuah desa terpencil. Surat itu ditulis dengan tangan, di atas kertas lusuh yang sudah menguning. Si pembaca menceritakan bagaimana karya-karya Arjuna telah mengubah hidupnya, memberinya harapan di tengah kesulitan, dan menginspirasinya untuk menjadi seorang penulis.

Arjuna tersentuh membaca surat itu. Ia menyadari bahwa tulisannya memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan mengubah hidup orang lain. Ia merasa bertanggung jawab untuk menggunakan kekuatan itu dengan bijak, untuk menebar kebaikan dan menginspirasi dunia.

Arjuna kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas sastra di desa tersebut. Ia ingin berbagi ilmu dan pengalamannya dengan para pemuda desa, ingin membantu mereka menemukan bakat dan mengembangkan potensi diri. Ia ingin menciptakan ruang bagi mereka untuk menari di panggung kehidupan dengan irama mereka sendiri.

Komunitas sastra itu berkembang pesat. Para pemuda desa yang awalnya malu-malu dan ragu, kini berani mengungkapkan diri melalui tulisan. Mereka menulis puisi, cerpen, esai, bahkan novel. Karya-karya mereka dipublikasikan di media lokal, bahkan ada yang berhasil menerbitkan buku dan menjuarai lomba menulis.

Arjuna merasa bahagia melihat semangat dan antusiasme para pemuda desa. Ia bangga menjadi bagian dari perjalanan mereka, bangga bisa membantu mereka menemukan irama hidup mereka sendiri.

Di suatu sore yang tenang, Arjuna duduk di beranda rumahnya di desa. Ia menatap ke arah sawah yang terbentang luas, melihat anak-anak berlarian dan petani yang sedang bekerja. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia telah menemukan makna hidupnya, telah menari di panggung kehidupan dengan irama yang indah dan bermakna.

Tiba-tiba, ia teringat akan pertanyaan Bu Widya bertahun-tahun yang lalu. "Bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?" Arjuna tersenyum. Ia telah menemukan jawabannya. Ia telah menari dengan penuh cinta, keberanian, dan dedikasi. Ia telah menari dengan irama hati nurani.

Dan tariannya itu, akan terus berlanjut, menginspirasi dan memberi makna bagi dunia.


***


Di usia senjanya, Arjuna memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Ia membeli sebidang tanah di kaki gunung, membangun rumah kayu sederhana, dan menanam berbagai jenis bunga di halamannya. Ia hidup tenang, menikmati udara segar, dan menghabiskan hari-harinya dengan membaca, menulis, dan bermeditasi.

Sesekali, ia  menerima  kunjungan  dari  para  sahabat  lama,  mahasiswa,  dan  penggemar  karyanya.  Mereka  datang  untuk  berbagi  cerita,  berdiskusi  tentang  sastra,  atau  sekadar  menikmati  keindahan  alam  bersama.  Arjuna  selalu  menyambut  mereka  dengan  hangat,  menawarkan  secangkir  teh  herbal  dan  kebijaksanaan  yang  ia  peroleh  sepanjang  perjalanan  hidupnya.

Pada  suatu  pagi  yang  cerah,  Arjuna  terbangun  dengan  perasaan  yang  tenang  dan  damai.  Ia  menyiapkan  secangkir  kopi,  duduk  di  beranda,  dan  menikmati  hangatnya  sinar  matahari  pagi.  Ia  merasakan  sebuah  kepuasan  yang  mendalam,  sebuah  rasa  syukur  yang  tak  terhingga  atas  semua  anugerah  yang  telah  ia  terima.

Tiba-tiba,  ia  teringat  akan  mimpi  yang  pernah  ia  alami  di  masa  mudanya.  Mimpi  tentang  seorang  penari  yang  menari  dengan  indah  di  atas  panggung,  diiringi  musik  yang  merdu  dan  cahaya  yang  gemerlap.  Penari  itu  adalah  dirinya  sendiri,  menari  di  panggung  kehidupan,  menciptakan  tarian  yang  unik  dan  bermakna.

Arjuna  tersenyum.  Ia  telah  menjalani  mimpi  itu.  Ia  telah  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  penuh  semangat,  cinta,  dan  dedikasi.  Ia  telah  menciptakan  tarian  yang  indah,  tarian  yang  menginspirasi  dan  memberi  makna  bagi  dunia.

Dan  kini,  di  penghujung  perjalanannya,  Arjuna  siap  untuk  menutup  tirai  panggung  kehidupannya  dengan  senyum  kepuasan.  Ia  telah  menari  dengan  baik,  telah  memainkan  perannya  dengan  sempurna.  Ia  telah  menemukan  iramanya  sendiri,  telah  menciptakan  mahakaryanya  sendiri.

Arjuna  menghela  napas  panjang,  merasakan  udara  segar  mengalir  ke  dalam  paru-parunya.  Ia  menutup  matanya,  menikmati  keheningan  dan  kedamaian  yang  menyelimuti  dirinya.  Ia  siap  untuk  kembali  ke  asal,  kembali  ke  sumber  segala  kehidupan.

Dan  di  saat-saat  terakhirnya,  Arjuna  tersenyum.  Ia  teringat  akan  kata-kata  Ki  Ageng,  dalang  wayang  kulit  yang  pernah  menginspirasinya  di  masa  muda.  "Hidup  itu  panggung  sandiwara,  Nak.  Setiap  manusia  adalah  lakon  dengan  peran  yang  berbeda-beda."

Arjuna  telah  memainkan  perannya  dengan  baik.  Ia  telah  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  indah  dan  bermakna.  Dan  kini,  tirai  telah  tertutup.  Lakon  telah  usai.

Namun,  tariannya  akan  terus   dikenang,  terus  menginspirasi,  terus  memberi  makna  bagi  generasi-generasi  mendatang.  Karena  Arjuna,  sang  penari  kehidupan,  telah  menciptakan  sebuah  mahakarya  yang  abadi.


***


Namun, ketenangan Arjuna diusik oleh sebuah berita yang tak disangka-sangka. Bu Widya, dosen pembimbing sekaligus mentornya, jatuh sakit. Penyakit yang telah lama diderita Bu Widya kembali kambuh, dan kali ini kondisinya jauh lebih serius. 

Arjuna segera bergegas menuju kota,  menjenguk Bu Widya di rumah sakit.  Di ruang perawatan yang steril,  ia melihat sosok yang dulu begitu tegar dan inspiratif kini terbaring lemah di ranjang.  Wajahnya pucat,  namun  sorot  matanya  masih  memancarkan  kehangatan  dan  kebijaksanaan  yang  sama.

"Arjuna..."  lirih  Bu  Widya  saat  melihat  kedatangan  Arjuna.

Arjuna  mendekat,  menggenggam  tangan  Bu  Widya  yang  terasa  dingin.  "Bu  Widya,  saya  di  sini."

Air  mata  mengalir  di  pipi  Bu  Widya.  "Arjuna,  kau  tahu,  aku  selalu  bangga  padamu.  Kau  telah  menari  dengan  indah  di  panggung  kehidupanmu."

Arjuna  mencoba  menahan  tangisnya.  "Bu  Widya,  semua  berkat  Ibu.  Ibulah  yang  membimbing  saya,  menginspirasi  saya,  dan  menunjukkan  jalan  hidup  saya."

Bu  Widya  tersenyum  lemah.  "Ingatlah,  Arjuna,  hidup  adalah  anugerah.  Teruslah  menari,  teruslah  berkarya,  dan  teruslah  menginspirasi  dunia."

Arjuna  mengangguk,  hatinya  penuh  har  u.  Ia  tahu,  pertemuan  ini  mungkin  menjadi  pertemuan  terakhir  mereka.  Ia  ingin  mengucapkan  ribuan  terima  kasih,  ribuan  kata  penghormatan,  namun  kata-kata  serasa  tersangkut  di  tenggorokannya.

Bu  Widya  menutup  matanya,  napasnya  semakin  melemah.  Arjuna  terus  menggenggam  tangannya,  menemaninya  di  saat-saat  terakhirnya.

Dan  di  saat  napas  terakhir  Bu  Widya  meninggalkan  jasadnya,  Arjuna  merasakan  sebuah  kehilangan  yang  mendalam.  Ia  kehilangan  seorang  guru,  seorang  mentor,  seorang  sahabat.

Namun,  Arjuna  juga  menyadari  bahwa  warisan  Bu  Widya  akan  terus  hidup  di  dalam  dirinya.  Semangat,  kebijaksanaan,  dan  cinta  Bu  Widya  akan  selalu  menginspirasinya  untuk  terus  menari  di  panggung  kehidupan,  menciptakan  tarian  yang  indah  dan  bermakna.

Arjuna  kembali  ke  desa  dengan  hati  yang  berat.  Ia  menguburkan  Bu  Widya  di  sebuah  pemakaman  kecil  di  kaki  gunung,  di  tengah  keindahan  alam  yang  dicintai  Bu  Widya.

Di  atas  pusara  Bu  Widya,  Arjuna  berjanji  untuk  terus  menghidupkan  warisannya.  Ia  akan  terus  menulis,  terus  menginspirasi,  dan  terus  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  penuh  cinta  dan  dedikasi.

Karena  ia  tahu,  itulah  cara  terbaik  untuk  menghormati  kenangan  Bu  Widya,  sang  penari  kehidupan  yang  telah  menunjukkan  jalan  kepadanya.


***


Kepergian Bu Widya meninggalkan lubang menganga di hati Arjuna. Kesedihan mendalam menyelimuti hari-harinya, mengaburkan cahaya mentari yang biasa menyinari jiwanya. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan pegangan. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang dulu pernah ia jawab, kini kembali menghantuinya.

"Untuk apa semua ini?" bisiknya lirih pada suatu malam, menatap langit penuh bintang. "Untuk apa aku menulis, untuk apa aku menari di panggung kehidupan, jika pada akhirnya semua akan berakhir seperti ini?"

Kegelisahan Arjuna mencapai puncaknya. Ia berhenti menulis, mengabaikan tawaran wawancara dan seminar, bahkan tak lagi peduli pada komunitas sastra yang ia dirikan. Ia mengasingkan diri di rumah kayunya, tenggelam dalam lautan kesedihan dan keputusasaan.

Hingga suatu hari, di tengah keheningan malam, Arjuna mendengar suara ketukan di pintu. Ia membuka pintu dengan malas, dan mendapati seorang gadis kecil berdiri di hadapannya. Gadis itu membawa sekuntum bunga mawar merah, wajahnya polos dan memancarkan keceriaan.

"Permisi, Pak Arjuna," ucap gadis itu dengan suara manis, "Nama saya Melati. Saya datang untuk memberikan ini." Ia menyodorkan bunga mawar itu kepada Arjuna.

Arjuna tertegun. Ia menerima bunga mawar itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Melati. Tapi, kenapa kau memberikan ini padaku?"

"Ibu saya bilang, bunga mawar ini bisa membuat hati Pak Arjuna kembali ceria," jawab Melati dengan polos. "Ibu saya suka sekali membaca buku-buku Pak Arjuna. Katanya, buku-buku Pak Arjuna memberinya kekuatan dan harapan."

Mendengar kata-kata Melati, hati Arjuna tersentuh. Ia teringat akan surat dari pembaca di desa terpencil, teringat akan semangat para pemuda di komunitas sastra, teringat akan warisan Bu Widya yang harus ia jaga.

Seketika,  sebuah  kesadaran  menyambar  jiwanya.  Ia  menyadari  bahwa  tariannya  di  panggung  kehidupan  belum  usai.  Masih  banyak  orang  yang  menantikan  tariannya,  masih  banyak  hati  yang  perlu  ia  sentuh,  masih  banyak  jiwa  yang  perlu  ia  inspirasi.

Arjuna  memeluk  Melati  erat-erat.  "Terima  kasih,  Melati.  Kau  telah  mengingatkan  saya  akan  makna  hidup  saya."

Mulai  saat  itu,  Arjuna  bangkit  dari  keterpurukannya.  Ia  kembali  menulis,  kembali  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  semangat  baru.  Ia  menulis  tentang  kehilangan,  tentang  kesedihan,  tentang  pencarian  makna  di  tengah  penderitaan.  Ia  menulis  dengan  jujur  dan  mendalam,  menuangkan  seluruh  perasaannya  ke  dalam  setiap  kata.

Karya-karya  Arjuna  pasca  kepergian  Bu  Widya  memiliki  kedalaman  emosi  yang  luar  biasa.  Ia  menulis  tentang  kehidupan  dan  kematian,  tentang  cinta  dan  kehilangan,  tentang  harapan  dan  keputusasaan.  Tulisannya  menyentuh  hati  banyak  orang,  membuat  mereka  merenung,  menangis,  dan  tersenyum.

Arjuna  terus  menari  di  panggung  kehidupan  hingga  akhir  hayatnya.  Ia  meninggalkan  warisan  berupa  karya-karya  yang  abadi,  yang  akan  terus  menginspirasi  dan  memberi  makna  bagi  generasi-generasi  mendatang.

Dan  di  suatu  hari  nanti,  ketika  tirai  panggung  kehidupan  akhirnya  tertutup  untuknya,  Arjuna  akan  pergi  dengan  senyum  kepuasan.  Ia  telah  menari  dengan  baik,  telah  memainkan  perannya  dengan  sempurna.  Ia  telah  menemukan  iramanya  sendiri,  telah  menciptakan  mahakaryanya  sendiri.

Dan  tariannya  itu,  akan  terus  bergema  di  hati  setiap  orang  yang  pernah  tersentuh  oleh  karyanya.  Karena  Arjuna,  sang  penari  kehidupan,  telah  menunjukkan  kepada  dunia  bahwa  hidup  adalah  sebuah  tarian  yang  indah,  sebuah  tarian  yang  penuh  makna,  sebuah  tarian  yang  abadi.


________________________

No comments:

Post a Comment