Tarian Menuju Langit
Oleh Misterherisugi
Pernah mendengar tentang ungkapan, "Jika Tuhan rindu dengan hambanya, maka Ia akan memanggil pulang hamba kesayangannya?” Ya, ini berlaku pada keluargaku. Babeh begitu aku menyebutnya, seorang Ayah yang kukagumi karena kerja keras menghidupi anak istrinya, kini telah wafat dengan membawa penyakit livernya. Meninggalkan Bunda, aku, Nabilla, dan Reynan.
"Qory, Babeh titip Bunda dan adik-adikmu ya, Nak," ucapnya berbisik ditelingaku.
Kata-kata pamungkas dari orang yang sudah menyerah dari perjuangan melawan penyakit. Tentu saja setelah berbisik, dia pun mengucap nama Tuhan yang kami sembah. Suaranya kecil, luruh, dan suaranya semakin menghilang. Babeh tak bernyawa.
Babeh telah pergi mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia yang fana ini pada sang Mahapencipta semesta alam. Setega itu Babeh pergi, meninggalkan kami yang sedang kesusahan. Adik Bungsuku baru saja berusia dua bulan, dan utang yang masih menumpuk di sana-sini.
Aku duduk di teras rumah yang tak beratap dan memandang bulan yang sedang dikelilingi awan gelap tanpa henti. Terus memandang dengan pikiran yang entah berapa banyak tertimbun di kepalaku. Lulus Sekolah akhir di tahun pandemik karena Covid-19 ini membuat perusahaan banyak yang menolakku. Alasannya hanya karena sedang dalam masa krusial, katanya. Di sinilah aku, terpaku memandangi bulan sambil terus berharap Tuhan memudahkanku dari segala urusan hidupku.
***
"Qory, sini Nak! Bunda mau ngomong sebentar." Panggilnya serius.
"Ada apa Bundaku yang paling cantik sejagat raya?" godaku menghampiri dan menatapnya.
"Nak, Bunda mau nyuci di rumah Bu Nisa. Lumayan gajinya buat sehari-hari."
"Tapi Bunda baru aja lahiran. Bu Bidan juga nyuruh Bunda istirahat dari kerja berat selama tiga bulan."
"Bunda kuat, kok. Bunda juga udah bisa jalan jauh, bisa ngelakuin aktifitas seperti biasanya."
"Tapi ..."
"Kamu harus percaya sama Bunda, Nak," ucapnya memotong keraguanku.
"Nanti yang jaga Reynan siapa, Bun? Qory juga kan seharian sekarang bantu-bantu di bengkelnya Mang Midin."
"Bunda udah izin sama Bu Nisa buat bawa Reynan. Bu Nisa setuju, kok."
"Ya udah kalau gitu, nanti aku bawa Nabilla setiap ke bengkel. Tapi Bunda janji ya, kalau Bunda ngerasa sakit, Bunda harus berhenti."
"Iya Bunda janji."
Pada akhirnya, kami saling sibuk mencukupi kehidupan sehari-hari untuk membayar semua sisa-sisa utang yang menumpuk.
Gaji kami tak banyak memang, namun bisa mengurangi utang yang menumpuk itu. Satu langkah panjang kami ambil, motor kesayangan Babeh mau tak mau kami jual untuk melunasi utang ke Pak Jhon, teman Babeh. Dia mendesak kami untuk melunasi utang secepatnya.
"A, Billa mau beli agel." Ucapnya dengan cadel.
Iya, Nabila baru saja berusia tiga tahun. Imut, lucu, dan menggemaskan. Ada-ada saja tingkahnya yang membuatku selalu tersenyum dan sejenak melupakan kegelisahan hidup.
"Mau beli ager? Emangnya doyan?"
"Iya doyan, beli catu aja." Sambil merayuku minta dibelikan.
"Bang, saya beli agernya satu ya," pesanku pada penjualnya.
Aku melanjutkan pekerjaanku untuk memperbaiki motor pelanggan. Satu persatu, motor kuperbaiki bersama Mang Midin. Dia adalah salah satu adik Babeh yang mau menerimaku di bengkelnya.
"Qor, ini bayaran buat bulan ini ya. Dua juta," ia
mengulurkan tangannya.
"Makasih banyak ya, Mang. Saya terima."
"Ini buat Billa sama buat si Reynan," Lanjutnya.
"Ya Allah, Mang. Qory jadi ngerepotin."
Dua ratus ribu rupiah, Mang Midin memang seringmenambahkan sedikit bayaranku dengan alasan untuk keperluan keponakannya. Padahal kutahu, istrinya Mang Midin selalu memarahinya karena terlalu baik denganku. Pernah suatu hari mereka bertengkar hebat karena membelikan mainan untuk Nabilla.
"Enggak apa-apa, ya udah sekarang pulang udah malam, kasian Billa udah ngantuk, tuh." Ucap Mang Midin dengan senyuman hangat.
"Iya Mang, makasih banyak ya, Mang."
Kami melangkah pulang, berjalan kaki sambil
bernyanyi lagu kesukaan Nabilla, "Andaikan aku punya sayap …" dan menikmati udara malam.
"Aa, Billa mau punya sayap, bial bisa telbang ..." menatapku lekat sambil melingkarkan tangan mungilnya di leherku.
"Emangnya Billa mau terbang ke mana?"
"Mau telbang ke langit telus ketemu Babeh, bial bisa ajak pulang Babeh."
Nyess, perjalanan ini terhenti sejenak, kakiku berhenti melangkah, kupandangi wajah Billa yang menggemaskan. Aku tersenyum sambil mengecup keningnya dan berkata, "Aa enggak bisa bikin sayap, tapi Aa bisa bikin pesawat kertas. Nanti Aa buatin buat Billa, terus kita terbangin ke langit ya, mau?"
"Mau, A. Asyik… yeee!" ucapnya kegirangan.
***
Malam ini bulan purnama tak terlihat jelas, embusan angin perlahan datang dan semakin dingin. Ya, malam ini hujan turun lebat, rintikan yang kulihat semakin deras, jatuh, dan membasahi bumi. Aku dan Nabilla tiba terlebih dahulu di rumah.
Sembari menunggu Bunda dan Reynan pulang, kubersihkan rumah dan menyiapkan air untuk mandi. Nampak jelas raut wajah adik perempuanku bahagia sekali memainkan pesawat kertasnya, ia terbangkan ke sana dan ke sini. Pesawat kertas itu pun mengikuti jalan angin di mana ia diterbangkan. Hingga ponsel lusuhku berbunyi nyaring, dari Bu Nisa rupanya.
“Assalamualaikum warahmatullah,” ucapnya agak kebingungan.
“Waalaikumussalam, Bu. Ada apa?”
“Qor, kamu bisa ke rumah? Ibumu pingsan.”
Mendengar itu, aku langsung menggendong Nabilla dan berlari secepat mungkin untuk menuju rumah Bu Nisa. Langkahku gontai, raut wajahku tak karuan, berlari dengan sekuat tenaga di atas guyuran hujan deras. Nabilla yang kudekap hangat ia memeluk tubuhku erat di dalam jaketku.
Hujan terus turun membiaskan air mata dan membiarkan mataku memerah. Hati dan perasaan semakin guncang dan gelisah, bibirku tak mampu terucap.
“Ya Rabb, jangan kau biarkan aku tanpa Bunda.” Batinku.
“Assalamualaikum, Bu.” Aku mengetuk pintunya dengan kecang, bajuku basah kuyup.
“Waalaikumussalam, masuk, Nak.” Ucapnya.
Aku melihat beberapa tetangga Bu Nisa yang telah datang dan dokter dari klinik depan jalan yang sedang memeriksa ibuku. Mendekatinya tanpa mengeringkan pakaian, dan menatap Bunda.
“Dok, bagaimana keadaan Bunda saya?” tanyaku dengan derai air mata.
“Vertigo Bundamu kambuh Qor, dia anfal dan tidak terkendali. Qory yang sabar ya, Bunda udah enggak ada. Bunda udah tenang di sisi Allah.”
Tangisku pecah, dadaku sesak, aku benar-benar tak bisa menahan teriakanku. Buliran air mata terus jatuh dari pipiku. Memeluk Bunda adalah hal yang kulakukan sekarang. Hancur, tak terima, marah, dan kecewa.
“Bunda…” aku menangis sejadi-jadinya.
Sejahat itukah semesta? Mengambil Bunda di saat aku baru saja kehilangan Babeh. Mengapa Bunda tega meninggalkanku dan juga adik-adikku di hidup yang penuh keluh ini, Tuhan? Dadaku sesak, napasku terpenggal, kupeluk erat tubuhnya, dan kucium keningnya, berharap Bunda terbangun dari tidurnya.
“Qory, sudah Nak, ikhlaskanlah. Bundamu sudah tenang, Nak.”
Namun, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menangis memanggil-manggil ibuku. Hujan semakin deras, sederas itu juga kesedihanku.
***
Sekarang ini, kehidupan telah menarik seorang anak dari tempat bermainnya. Membawa nampan berisi harapan dan dibiarkan begitu saja. Saat aku bertanya, “Untuk siapa?” Bunda hanya bilang, “Itu untuk aku.”
“Bagaimana cara menikmati harapan kalau tanpa restumu?” kataku sambil mengusap rambutnya. Ya, yang kuusap rambutnya, tapi yang runtuh air matanya.
Katanya, “Anakku sudah bukan anak-anak lagi. Kamu telah besar dan gagah dalam berjalan, Nak. Termasuk ketika kamu meninggalkan rumah untuk membantuku bekerja seharian. Dalam genggamanku dulu, kamu sering menangisi balon yang terbang ke udara namun sekarang dalam genggamannya kamu menangisi kepergianku.”
Kataku, Bunda itu harus kuat, rumah ini menjadi tempat ternyaman untuk pulang, dan dewasaku adalah tentangmu. Membuatmu tersenyum di masa senja dan duduk manis di teras dengan teh hangatmu. Katamu dulu, aku ini adalah laki-laki tangguh, anak kecil yang paling pintar di kelasnya, yang selalu bangga atas hasil lukisanku. Walaupun buruk, menurutmu hasil karyaku adalah yang terbaik. Katamu dulu, aku disuruh cepat besar. Diceritamu menjadi dewasa itu nampak sangat
menyenagkan. Di saat aku bisa memilih apa yang aku sukai, saat semua orang menaruh harap di pundakku. Namun nyatanya kini aku tidak tumbuh menjadi dewasa.
Bunda, diceritaku menjadi dewasa tidak seramah seperti yang kau ceritakan dan tak semudah itu menentukan pilihan. Karena yang aku sukai belum tentu mau menyukaiku. Tapi ada satu yang benar, perihal semua orang menaruh harap di pundakku. Bunda, maaf aku belum bisa setegar dan setangguh yang Bunda harapkan.