Sunday, June 23, 2024

CERPEN

 Kisah adalah sebuah kenangan yang di dalamnya ada kesedihan, kebahagiaan, kekecewaan, bahkan sebuah pelajaran. Kali ini saya akan membagikan sebuah cerita pendek untuk sama-sama kita baca dan ambil pelajaran (hikmah) dalam cerita ini. Selamat membaca. 

PENANTIAN DAN HARAPAN


 Pagi itu, ketika udara terasa basah oleh embun pagi, aku memulai rutinitas mingguanku menjelajahi kota. Dengan berbekal sepatu sport, aku pun melesat menyusuri jalan setapak sekitar rumahku. Belum seratus meter aku berlari, lagi-lagi hal yang sama seperti minggu lalu kembali terulang. Aku melihat seorang gadis muda sedang menyusuri gang sempit yang ada di pertigaan jalan besar. Itu menjadi hal yang aneh mengingat gang sempit yang ia masuki adalah gang buntu yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Benar-benar sangat aneh pikirku, tetapi aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan langkah kakiku.

 Sudah tiga minggu sejak hari itu, dan sudah tiga kali pula aku mendapatinya masuk ke dalam gang buntu yang sama. Rasa penasaran sudah tak mampu lagi ku tahan, dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran yang kuat, aku mengikutinya. Ketika memasuki mulut gang, aku sempat terganggu dengan jalannya yang basah dan bau sampah. 

“Hei, tunggu...” kataku.
Gadis itu terus saja tidak mengacuhkanku dan 
menyusuri gang sempit. Setelah aku mengikutinya sampai ujung gang, aku kembali menegurnya. Tampak dia sedikit terkejut ketika melihat wajah asingku. Aku pun mencoba mencairkan suasana. “Hey, kamu lagi ngapain?” ucapku basa-basi.

 Dengan wajah tenang tanpa ekspresi, dia pun mengabaikanku dan meletakkan bungkusan kecil yang dibawanya. Beberapa saat kemudian, beberapa ekor anak kucing yang nampak kumal mengerubungi bungkusan yang dibawa gadis tersebut. Gadis itu mengangkat seekor anak kucing berwarna hitam dan mulai mengelusnya. Seketika, untuk sesaat aku merasakan kehangatan terpancar di wajahnya. Begitu lembut, tenang, dan syarat akan kebaikan. Inilah kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku sejak ibuku meninggal lima tahun yang lalu.

“Kucing-kucing ini dibuang pemiliknya dan tidak punya tempat tinggal atau tempat singgah yang layak.”Katanya membuyarkan lamunanku.

“Ah, jadi karena itu kamu ke sini setiap minggu? Untuk memberi makan mereka?” tanyaku.

“Yah begitulah, dan hampir setiap hari aku ke sini. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk mereka, tak bisa lebih.”

“Ehmm begitu, oh ya, aku Ramdan.”

“Irsa.” Jawabnya pendek.

 Inilah perkenalan kecil kami yang merupakan awal baru dalam kehidupanku. Tanpa terasa hari telah sore ketika aku akan mengakhiri bincang-bincangku bersamanya. Entah kenapa aku begitu tertarik dengannya.

 Setelah beberapa kali bertemu, aku semakin akrab dengan Irsa. Di suatu sore aku mengajaknya pulang dengan motor ninjaku. Di jalan yang lenggang itu, kucoba membuatnya berkesan dengan kemampuan berkendara. Kupacu motorku dengan kecepatan maksimal. Tanpa kusadari, mobil sedan yang ada di depanku berhenti mendadak. Dengan kecepatan seperti ini, mustahil bagiku menghentikan laju motorku. Aku berinisiatif mengambil sedikit badan jalan bagian kanan untuk menghindarinya. Tiba-tiba sebuah mobil pickup dari arah berlawanan menabrak motorku, aku dan Irsa terpental jauh beberapa meter. Di sana, aku tak sadarkan diri.

 Aku terbangun di ruangan serba putih yang 
kuyakini sebagai rumah sakit. Tiga tulang rusuk dan kaki kananku patah, serta banyak memar di sekujur tubuhku. Lalu bagaimana dengan Irsa? Aku begitu terkejut dan tak percaya dengan semua ini. Irsa tidak selamat. Tidak hanya perasaan sedih, aku juga merasa kecewa, marah, gundah dan menyesal dengan semua yang terjadi. 

 Ketika pemakaman Irsa berlangsung, aku sedikit terkejut melihat banyaknya orang dari segala penjuru yang datang. Terutama karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim piatu disekitar rumah Irsa. Memang, aku baru mengenal Irsa selama tiga minggu, dan hanya dalam selang waktu itu aku merasa telah sangat mengenalnya, aku tidak meragukan keramahan dan kebaikan hatinya. Namun ternyata dia lebih dari yang kubayangkan.

 Selama ini dia tidak hanya peduli terhadap lingkungannya, ia juga ternyata aktif mengurusi anak-anak itu. Mulai dari makan, hingga sekolah mereka. Aku kagum sekaligus malu padanya. 
Kagum karena kesediaannya untuk berbagi dengan orang lain dan malu karena selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sadar bahwa selama ini aku hidup sebagai pecundang yang tidak berarti. Aku termenung dan berpikir jika Irsa hidup demi anak-anak itu, lantas aku hidup demi apa? Demi siapa?

 Sekarang aku tidak punya siapa-siapa di hidupku, kecuali Irsa, Irsa Anindiya Misti. Jadi aku putuskan akan hidup demi Irsa dan harapan-harapannya akan dunia. Aku tidak lagi gundah, karena aku punya alasan untuk hidup. Dengan langkah pincang aku meninggalkan pemakaman sambil berucap dalam hati, “Demi dunia … demi Irsa, Wanita yang kucintai.”

No comments:

Post a Comment