Wednesday, June 26, 2024

CERPEN #3


PADA POHON YANG TUMBUH DAN PAGINYA


Siapa menyangka ia akan sepagi ini, ditemani sinar rembulan yang mulai hilang, lalu disapa oleh deburan kasat mata. Baru kemarin ia keluar dari rumah keduanya, diantar ibu dan ayah. Rumah itu ia bayar setiap hari, untuk kelas nomor satu. Ia benci rumah itu―sangat benci. Tapi ia tahu, rumah itu harus ditempati, atau sekadar disinggahi sepulang sekolah. Temaram pagi ia lupa, tak dilihat sama sekali. Ia tahu ada sesuatu datang. Rangkaian suara terdistorsi lewat kerikil hitam, teman abadinya di kala membunuh waktu. Menikmati senja―di sini. Ia tahu bahwa ia akan di jemput, “Tapi ini belum waktuku,” pikirnya. 

Angin lautan menerbangkan rambut ikalnya bak gaun pengantin, sesuatu yang selalu menghantui malam-malam singkatnya. Ia merasa tidak pernah bersama Athena, ataupun Dewi Fortuna. Sosok Burdi, kekasih yang ia cinta raib tanpa asa. Sekarang tinggal menunggu giliran untuknya, mungkin. Burdi menyatukan tangan, berucap sumpah di sini. Ditemani guguran daun Asem dan kepulan asap. Asap ikan bakar dari sebuah gubuk tua, di mana sang nenek tinggal sebatang kara melawan kebisingan globalisasi. 

Itu kali pertama ia merengkuh sang waktu, mengidamkannya tanpa mengumpat sang waktu seperti hari-hari belakangan. Saat ini ia berpikir. Nenek telah meninggal, kemarin. Meninggalkan kepulan asap ikan bakar yang tersusup di antara sebaran daun Asem muda. Siapa yang membakar ikan di gubuk tua itu? Tiada sempat ia berkehendak untuk merangkai pikiran. Ia hanya terhenyak. Tanpa asa tanpa nestapa. Mozaik Burdi terangkai, berasas deburan ombak di temaramnya dini hari. Air mata teralir, dievaporasi embrio sinar sunrise yang sembari meratap dunia. Matahari, sekali lagi, menungkas tangisnya.

“Athena … Dewi Fortuna … apakah kalian ada di sekitarku sekarang?” ratap anak itu.

Ufuk timur merekah malu, bertemu kekasih tercintanya, sang dunia. Hari ini, esok dan seterusnya pasangan ini takkan tereliminasi waktu. Kecuali, 85 Miliar tahun lagi, di saat matahari terkonversi menjadi penghisap hitam besar, black hole. Ia bahkan melupakan sang dunia, kekasihnya. Dunia akan dilahapnya tanpa pandang bulu.

Bahkan, beberapa pihak mentesiskan asumsi, kekasih sang fajar akan terjun ke sebuah dunia baru. Lewat white hole, jelas tesis tersebut. Walau ia tak percaya tesis, seperti alamat yang Burdi tujukan kepadanya, tapi tesis satu ini terkonveksi menelusuri pembuluh vena dan menuju ke empedu, jauh di mata dekat di hati.

“Oh Tuhan, aku ingat Burdi lagi. Maaf Udi, untuk selalu mengumandangkan namamu dari dunia fana ini. Aku tahu, kau sudah cukup terganggu dengan sejutapesan dan doa yang kuteleportasi dari hatiku. Sekali lagi, maafkan aku sayang.” Thesis tadi seperti kenyataannya. 

Kematian Burdi dulu akan menyiksa, hingga akhirnya mencabut jiwa. Tanpa kau tahu, kau menjadi black hole itu. Dan, Ia akan dikirim dan akan didapati dirinya di tempat baru. Dengan Burdi, harapnya.

“Marilah … kau sudah tahu semua. Aku tidak perlu bersua percuma. Segera ambil takdirmu.” kata peri yang sedari tadi meringkuk malu di samping gubuk nenek. Ia tahu sang peri bingung. Peri itu kasihan padanya, dan peri itu ditugaskan mengeksekusinya. Ia tahu.

Ia gubris dengung malu si peri, beranjak dari sudut cakrawala di ufuk tengah. Sebuah impuls hebat menggoyah otaknya kuat. Saluran eusthacius² di telinganya sudah tiada respon fungsi. Jangankan berjalan, berdiri pun ia tergontaikan angin.

“Jika kau mampu melewati candi itu,turun kuberangkat tanpamu.”

Kata peri memberi secercah cahaya, walau ia tahu ia tidak akan bisa merujuk candi itu. Dikerahkan tenaganya yang hampir bernilai minus, menimbun asam laktat di jaringan otot. Ia belum menyerah, ia sudah menyangka Rindi akan sepagi ini. Ditemani Semua hal, suatu pesan terkirim ke otaknya.

“Oh tidak!” pikirnya.

Sang atasan sudah menagih. Ia sudah terlambat dua hari. Sedari tadi ia meringkuk di tepi gubuk tua. Ya, bersama konveksi asap ikan bakar yang menuju ether³ bak deburan air terjun yang selalu akan menghantam batuan di bawahnya. Rindi telah sadar, sedari tadi. Dirinya dan tujuannya. Ialah sekarang air terjun itu, dan Rindi adalah batuan di bawahnya. Segera, batuan tersebut akan terbelah oleh sinar gama. Sinar gama berwujud peri kecil yang meringkuk tegas di samping temaram gubuk tua, bersandar. Ia mengangkat tongkat malaikat itu. Orang bilang tongkat itu indah, baik dan suci. Tetapi, di balik tirai tipisnya meruncing beribu jarum bergerigi, tajam. Terasah oleh literan darah yang tergilas. Setajam pisau Rudra. Ia melakukannya terpaksa.

Kebimbangan adalah teman seharinya Nian, bak makan buah simalakama di setiap harinya. Kali ini sebuah lagu akan berusaha ia telan. Sementara, Rindi Tergopoh tindih berjalan menuju candi itu. Tubuh kecil rapuhnya tak kuat menahan sebagian jiwa yang telah hilang. Ia tahu dengan bantuan seribu dokter dan kepulan asap kemenyan paranormal pun Rindi tidak akan bisa bertahan dalam sepuluh menit. Jadi,dibentangkannya ruang dan waktu. Mengarungi Sebuah relativitas massa. Di mana, tubuhnya melanggar hukum gravitasi dan melesat melawan gesekan angin. Terbang!

Aku telah menyangka mereka akan sepagi ini. Peri dengan kebimbangan semu aktivitas, dan tongkatnya. Rindi, yang menunggu hujan deras di pagi hari. Aku tahu akan ada sebuah buah simalakama yang akan terdigesi menjadi mozaik energi dalam respirasi. Aku juga tahu stula sarira⁴ akan terjerembab dalam sepuluh menit. Menyembah tanah tanpa merindukan langit atau bahkan sang penguasa ufuk timur-barat lagi. Kalian tahu, ini menyiksa!

Dalam masa kecilku yang masih 30 tahun ini aku kurang beruntung. Melihat kejadian ini hampir setiap tahunnya. Resah dan geram. Apa boleh buat, nenek Rusman telah menumbuhkanku di tempat ini. Merawat dan mengasihiku. Tak apa, aku telah membalasnya melalui guguran buahku. Cintalah yang membuat buah itu selalu tersedia. Cinta nenek. 

Pandanganku telah tervisualisasi dengan semua kejadian di tanah ini. Tubuh mungil nenek ketika kecil yang melompati dahanku atau tangis terisaknya ketika mengetahui daunku di rusak tetangga. Nenek cengeng, begitupun aku. Aku tahu nenek menumpah air mata. Nenek tidak tahu aku terluka terisak.

Nenek juga menumbuhkan beberapa teman seperjuanganku. Aku memanggilnya Jagur dan Jugar. Mereka baik. Jugar sudah remaja. Ia sebelas tahun. Sedangkan Jagur seumuranku. Kami tidak sapa jua, setengah abad lebih. Tapi kami berkomunikasi. Kemotaksis, Fotonasti, dan lainnya. Kalian pasti mengerti. Ingatan menempel di otak kiri. Beberapa hari silam mereka mati. Di tebang tepatnya. Buruh gergaji berbahan bakar hidrokarbon perusak bumi, pelakunya. Rupiah bernominal lima ratus ribu penyebabnya. Uang itu pun tidak habis dalam satu minggu. Cuma dua kali dua puluh empat jam. Wanita kafe penjaja diri aliran uang itu. Dan! Saudaraku korbannya! Meretas nasib sebelas dan tiga puluh tahun. Bersenang dalam sunyi. Berteman sepi dan budi. Menelan kesendirian mentah bersamaku. Melihat pengeksekusian Rindi–Rindi lain. Menelan air mata. Mengunyah pahitnya getah empedu hati. Tapi mereka mati. Ya, satu hal. Mereka mati!

Pikiran kembali merasuki raga ini. Kami memang hebat, memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu. Berselancar menuju dimensi ke delapan. Melanjutkan waktu ketika semua tidak sadar bahkan, acuh sekalipun tidak. Rindi menjadi fokus utamaku karena menolak pemberhentian waktuku, sedang sang peri memilih untuk tidak.

Rindi dapat melebar jarak dan asa. Untuk menarik napas, barang satu-dua menit. Tetesan darah menaati gaya gravitasi, menuju ke energi potensial nol. Kesadarannya bergerak menuju bilangan imajiner. Jauh dari realita. Hidup dari semangat.

“Brukk!” tubuh Rindi tergeletak tanpa cita di atas kerikil yang meradiasi panas matahari. 

Ia bangkit

Melangkah

Berjalan

Lagi. 

Si peri telah melesat bersenjata pisau Rudra. Siap mengambil roh seorang tak berdaya. Sang peri sudah dekat―sangat dekat. Momen itu akan terjadi. Sebentar lagi. Biasanya Jugar yang yang menggugurkan daun dan dahan. Menutup kesempatan bagi pohon seperti diriku melihat kekejaman penguasa. Peguasa dunia. Lalu, akan kudapati tubuh kosong dikelilingi sanak saudara yang berlomba bersua menembus langit. Aku gemetar. Sudah cukup kematian nenek, jugar, dan Jagur.

Ruang dan waktu nampak terdiam. Mengejek ketidakberdayaan makhluk paling rendah. Aku. Ketidakberdayaan ini. Sungguh. Hampa, tangis, geram, dan mematung. Semua abstrak. Bayang kasih sayang nenek, menggelora. Radiasi cinta kasih yang mendarah daging hingga ke dalam xylem dan floemku. Jagur dan Jugar. Peneman di kala gundah rasa bercampur tawa hampa. Pengaku keberadaanku. Teman penghabis sisa hidup di mayapada. Tergilas gergaji mesin jahanam. Tiada permintaan terakhir. Semua sudah hilang.

Rindi, tinggal menghisap detik terakhir hidup. Pisau itu dekat. Begitu dekat. Angin cakra telah menembuh epidermis Rindi. Ia menggetar, aku tidak diam. Kulayangkan ruang-waktu, sekali lagi. Rindi dapat selamat. Ia melanggar sepuluh menit peri.

Sang peri geram! Dua peri lain turun menggelegar membelah dari langit ke tujuh. Tiga buah tongkat berlusinan jeruji meruncing. Tak ayal, Rindi merintih, dalam tarikan napas. Tiada berekspresi suara secuil debu pun. Aku dapat merasa, Ia mengingat semua kesalahannya. Korupsi, Prostitusi dan Atheis. Tapi tiga peri liar itu tak mengenal maaf. Mereka hanya menunaikan tugas. Kemampuanku membuang ruang waktu habis.

Sementara, lentera dalam diri Rindi telah redup. Tiga peri telah berdiri tegas menghadang. Rini terisak. Ketiga peri menganggarkan senjata, dia bersiap menikam. Seketika, deburan ombak menunjuk Burdi. Ya, asa burdi bereformasi lagi. Menghambat peri, melawan takdir! Sebuah suara seraya mengintip lekat. Pak Burhan, pekerja, berkesepakatan dengan anak nenek. Menyerahkan enam ratus ribuan hangat lalu membawa gergaji mesin. Kuputar pandangan sekitar bumiku. Tidak! Tidak ada pohon selain diriku! Lalu siapakah sasarannya? Aku? Kuterpejam dalam siksa menanti melodi Tuhan.

No comments:

Post a Comment