Arjuna: Sang Penari Kehidupan
Fajar merekah di ufuk timur, semburat jingga membelai langit Jakarta. Namun, cahaya mentari pagi itu tak mampu menembus kelam yang menyelimuti hati Arjuna. Ia terbangun dengan sejuta tanya yang berkelindan, menggerogoti jiwanya. Pertanyaan Bu Widya, dosen pembimbing skripsinya, bagai hantu yang terus membayanginya.
"Arjuna, bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja di penghujung pertemuan mereka kemarin. Sederhana, namun menohok sanubari Arjuna. Bagaimana ia akan menari? Ia bahkan tak tahu irama apa yang harus diikuti, tak tahu panggung mana yang akan ia pijak.
Arjuna, pemuda dengan tatapan mata sendu dan jiwa yang penuh gejolak, merasa terjebak dalam pusaran ketidakpastian. Ia bagai kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing di lautan kehidupan. Skripsi yang tak kunjung rampung, mimpi yang terkubur debu, dan masa depan yang buram, semua bercampur aduk menjadi simfoni kekalutan.
Di tengah kemelut batinnya, Arjuna teringat akan perkataan Ki Ageng, seorang dalang wayang kulit yang pernah ditemuinya di sebuah pementasan. "Hidup itu panggung sandiwara, Nak. Setiap manusia adalah lakon dengan peran yang berbeda-beda. Ada yang menjadi raja, ada yang menjadi rakyat jelata, ada yang menjadi pahlawan, ada yang menjadi penjahat. Tapi, ingatlah, setiap lakon memiliki kebebasan untuk menafsirkan perannya, untuk menari dengan gayanya sendiri."
Kata-kata Ki Ageng bagai suluh yang menerangi kegelapan hati Arjuna. Ya, ia adalah lakon dalam panggung kehidupannya sendiri. Ia memiliki kebebasan untuk memilih peran, untuk menari dengan irama yang ia ciptakan. Tapi, bagaimana ia bisa menari jika kakinya terbelenggu keraguan, jika jiwanya terpenjara ketakutan?
Arjuna memutuskan untuk mencari jawaban. Ia mulai menjelajahi lorong-lorong perpustakaan, menelusuri jejak-jejak pemikiran para filsuf, sastrawan, dan seniman. Ia membaca Nietzsche yang berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Sartre yang mengulas tentang eksistensialisme, Khalil Gibran yang merangkai kata-kata indah tentang cinta dan kehidupan.
Ia mendaki gunung, menyelami samudra, dan mengembara ke pelosok negeri. Ia berdialog dengan alam, bercengkrama dengan manusia dari berbagai latar belakang, dan belajar dari setiap pengalaman yang ia temui.
Perlahan, kabut yang menyelimuti pikiran Arjuna mulai tersingkap. Ia menyadari bahwa hidup adalah sebuah perjalanan penemuan jati diri, sebuah proses pencarian makna di tengah lautan eksistensi. Ia menyadari bahwa kebebasan memilih adalah anugerah sekaligus tanggung jawab, sebuah kekuatan yang harus digunakan dengan bijak.
Arjuna kembali ke kampus dengan semangat baru. Ia menuntaskan skripsinya dengan penuh dedikasi, menuangkan seluruh pemikiran dan perenungannya ke dalam setiap baris kalimat. Ia tak lagi sekadar mengejar gelar sarjana, tapi juga mengejar pencerahan, mengejar makna di balik setiap kata yang ia tulis.
Setelah lulus, Arjuna memutuskan untuk tidak mengikuti arus. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan multinasional dan memilih untuk menjadi seorang penulis lepas. Ia ingin bebas mengekspresikan diri, bebas menari di panggung kehidupannya dengan irama yang ia ciptakan sendiri.
Ia menulis tentang keresahan sosial, tentang keindahan alam, tentang cinta dan kehilangan, tentang pencarian jati diri. Tulisannya mengalir bagai air sungai, jernih dan penuh makna. Ia menari dengan kata-kata, merangkai kisah-kisah yang menyentuh hati, menggugah jiwa, dan menginspirasi banyak orang.
Suatu hari, Arjuna bertemu kembali dengan Bu Widya di sebuah acara seminar sastra. Bu Widya terkesima membaca kumpulan cerpen Arjuna yang baru saja diterbitkan.
"Arjuna," ucap Bu Widya dengan mata berkaca-kaca, "kau telah menemukan iramamu sendiri. Kau telah menari dengan indah di panggung kehidupanmu."
Arjuna tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan Bu Widya. Ia telah menemukan caranya untuk menari di panggung kehidupan.
Dan tariannya itu, adalah sebuah simfoni kehidupan yang penuh makna, sebuah mahakarya yang tercipta dari kebebasan memilih, keberanian menghadapi ketidakpastian, dan tekad untuk menari dengan irama hati nurani.
***
Kopi hitam tanpa gula, setia menemani Arjuna di meja kerjanya. Di luar, hujan deras mengguyur kota, membasahi jalanan aspal dan dedaunan di pepohonan. Suara gemericik air beradu dengan denting keyboard laptop, menciptakan melodi sendu yang menghanyutkan. Arjuna larut dalam dunianya sendiri, jari-jarinya menari lincah di atas tuts keyboard, merangkai kata demi kata menjadi untaian kalimat yang puitis.
Di layar laptop, sebuah cerita mulai terbentang. Kisah tentang seorang musafir yang mengembara mencari jati diri, melintasi padang pasir, mendaki gunung tertinggi, menyelami lautan terdalam. Ia berdialog dengan para dewa di puncak gunung, bertukar pikiran dengan para jin di dasar laut, dan berbagi cerita dengan manusia dari berbagai suku dan bangsa.
Musafir itu adalah Arjuna sendiri, refleksi dari jiwanya yang haus akan makna, akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mengganggunya. Ia mencari arti hidup, mencari tujuan di balik segala hiruk pikuk dunia, mencari cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti zaman.
Tiba-tiba, ponsel Arjuna berdering, membuyarkan konsentrasinya. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Dengan sedikit ragu, Arjuna mengangkat telepon.
"Halo?"
"Halo, apakah ini dengan Arjuna?" Suara seorang wanita terdengar di seberang sana.
"Ya, benar. Ini siapa?"
"Saya Rani, dari penerbit Pustaka Jaya. Kami tertarik dengan tulisan-tulisan Anda yang dimuat di website Fiksiana. Kami ingin menawarkan kerja sama untuk menerbitkan karya Anda dalam bentuk buku."
Jantung Arjuna berdetak kencang. Ia tak menyangka tulisannya akan menarik perhatian penerbit besar seperti Pustaka Jaya. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh ia sia-siakan.
"Tentu saja, saya sangat tertarik," jawab Arjuna dengan antusias.
Percakapan singkat itu menjadi titik balik dalam perjalanan Arjuna sebagai penulis. Ia mulai serius menekuni dunia kepenulisan, mengasah bakatnya, dan menghasilkan karya-karya yang semakin berkualitas. Namanya mulai dikenal di kalangan pecinta sastra, tulisannya menghiasi halaman-halaman majalah dan surat kabar, bahkan diadaptasi menjadi film layar lebar.
Namun, di tengah kesuksesannya, Arjuna tak pernah melupakan pesan Bu Widya, "Bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?" Ia menyadari bahwa kesuksesan hanyalah salah satu aspek dari kehidupan, bukan tujuan akhir. Ia tetap rendah hati, terus belajar, dan selalu mencari cara untuk memberi makna pada hidupnya.
Arjuna aktif dalam kegiatan sosial, membantu anak-anak kurang mampu, dan menyuarakan kepeduliannya terhadap isu-isu lingkungan. Ia menggunakan popularitasnya untuk menginspirasi orang lain, untuk mengajak mereka menari di panggung kehidupan dengan irama hati nurani.
Suatu ketika, Arjuna diundang untuk memberikan seminar di almamaternya. Di hadapan ratusan mahasiswa, ia berbagi kisah perjalanannya, tentang bagaimana ia menemukan irama hidupnya sendiri.
"Hidup adalah panggung, dan kita semua adalah penari," ujar Arjuna dengan penuh semangat. "Kita bebas memilih irama, bebas mengekspresikan diri, dan bebas menciptakan tarian kita sendiri. Tapi, ingatlah, tarian yang paling indah adalah tarian yang lahir dari hati nurani, tarian yang memberi makna bagi diri sendiri dan orang lain."
Di akhir seminar, seorang mahasiswa mengacungkan tangan dan bertanya, "Kak Arjuna, bagaimana kita bisa menemukan irama hidup kita sendiri?"
Arjuna tersenyum. "Dengan berani melangkah, dengan berani mencoba, dengan berani mengejar mimpi. Jangan takut gagal, jangan takut jatuh. Karena setiap langkah, setiap kegagalan, adalah bagian dari tarian kehidupan kita."
Arjuna mengakhiri seminar dengan sebuah pesan yang menggugah, "Jadilah penari yang bebas, penari yang berani, penari yang menari dengan irama hati nurani. Ciptakan tarian kehidupanmu sendiri, dan jadikan dunia sebagai panggungmu!"
Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Di antara kerumunan mahasiswa, Arjuna melihat sosok Bu Widya yang tersenyum bangga. Ia tahu, tariannya di panggung kehidupan baru saja dimulai.
***
Tahun-tahun berlalu, Arjuna menjelma menjadi penulis ternama. Karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa, memenangi penghargaan bergengsi, dan diadaptasi ke berbagai media, dari teater hingga komik. Ia menjelajahi dunia, menghadiri festival sastra internasional, berdiskusi dengan penulis-penulis hebat dari berbagai belahan bumi.
Namun, di tengah gemerlap dunia literasi, Arjuna tetaplah Arjuna yang dulu. Pemuda dengan tatapan sendu yang menyimpan sejuta makna. Ia tak silau oleh popularitas, tak terlena oleh pujian. Ia tetap membumi, mengingat asal-usulnya, dan menghargai setiap orang yang bertemu dengannya.
Arjuna tak pernah lupa akan pertanyaan Bu Widya yang telah membangkitkan kesadarannya. Ia selalu merenungkan makna hidup, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak pernah habis digali. Ia menulis bukan hanya untuk menghibur atau mendidik, tetapi juga untuk menemukan makna, untuk memahami hakikat keberadaan manusia.
Suatu hari, Arjuna menerima surat dari seorang pembaca di sebuah desa terpencil. Surat itu ditulis dengan tangan, di atas kertas lusuh yang sudah menguning. Si pembaca menceritakan bagaimana karya-karya Arjuna telah mengubah hidupnya, memberinya harapan di tengah kesulitan, dan menginspirasinya untuk menjadi seorang penulis.
Arjuna tersentuh membaca surat itu. Ia menyadari bahwa tulisannya memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan mengubah hidup orang lain. Ia merasa bertanggung jawab untuk menggunakan kekuatan itu dengan bijak, untuk menebar kebaikan dan menginspirasi dunia.
Arjuna kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas sastra di desa tersebut. Ia ingin berbagi ilmu dan pengalamannya dengan para pemuda desa, ingin membantu mereka menemukan bakat dan mengembangkan potensi diri. Ia ingin menciptakan ruang bagi mereka untuk menari di panggung kehidupan dengan irama mereka sendiri.
Komunitas sastra itu berkembang pesat. Para pemuda desa yang awalnya malu-malu dan ragu, kini berani mengungkapkan diri melalui tulisan. Mereka menulis puisi, cerpen, esai, bahkan novel. Karya-karya mereka dipublikasikan di media lokal, bahkan ada yang berhasil menerbitkan buku dan menjuarai lomba menulis.
Arjuna merasa bahagia melihat semangat dan antusiasme para pemuda desa. Ia bangga menjadi bagian dari perjalanan mereka, bangga bisa membantu mereka menemukan irama hidup mereka sendiri.
Di suatu sore yang tenang, Arjuna duduk di beranda rumahnya di desa. Ia menatap ke arah sawah yang terbentang luas, melihat anak-anak berlarian dan petani yang sedang bekerja. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia telah menemukan makna hidupnya, telah menari di panggung kehidupan dengan irama yang indah dan bermakna.
Tiba-tiba, ia teringat akan pertanyaan Bu Widya bertahun-tahun yang lalu. "Bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?" Arjuna tersenyum. Ia telah menemukan jawabannya. Ia telah menari dengan penuh cinta, keberanian, dan dedikasi. Ia telah menari dengan irama hati nurani.
Dan tariannya itu, akan terus berlanjut, menginspirasi dan memberi makna bagi dunia.
***
Di usia senjanya, Arjuna memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Ia membeli sebidang tanah di kaki gunung, membangun rumah kayu sederhana, dan menanam berbagai jenis bunga di halamannya. Ia hidup tenang, menikmati udara segar, dan menghabiskan hari-harinya dengan membaca, menulis, dan bermeditasi.
Sesekali, ia menerima kunjungan dari para sahabat lama, mahasiswa, dan penggemar karyanya. Mereka datang untuk berbagi cerita, berdiskusi tentang sastra, atau sekadar menikmati keindahan alam bersama. Arjuna selalu menyambut mereka dengan hangat, menawarkan secangkir teh herbal dan kebijaksanaan yang ia peroleh sepanjang perjalanan hidupnya.
Pada suatu pagi yang cerah, Arjuna terbangun dengan perasaan yang tenang dan damai. Ia menyiapkan secangkir kopi, duduk di beranda, dan menikmati hangatnya sinar matahari pagi. Ia merasakan sebuah kepuasan yang mendalam, sebuah rasa syukur yang tak terhingga atas semua anugerah yang telah ia terima.
Tiba-tiba, ia teringat akan mimpi yang pernah ia alami di masa mudanya. Mimpi tentang seorang penari yang menari dengan indah di atas panggung, diiringi musik yang merdu dan cahaya yang gemerlap. Penari itu adalah dirinya sendiri, menari di panggung kehidupan, menciptakan tarian yang unik dan bermakna.
Arjuna tersenyum. Ia telah menjalani mimpi itu. Ia telah menari di panggung kehidupan dengan penuh semangat, cinta, dan dedikasi. Ia telah menciptakan tarian yang indah, tarian yang menginspirasi dan memberi makna bagi dunia.
Dan kini, di penghujung perjalanannya, Arjuna siap untuk menutup tirai panggung kehidupannya dengan senyum kepuasan. Ia telah menari dengan baik, telah memainkan perannya dengan sempurna. Ia telah menemukan iramanya sendiri, telah menciptakan mahakaryanya sendiri.
Arjuna menghela napas panjang, merasakan udara segar mengalir ke dalam paru-parunya. Ia menutup matanya, menikmati keheningan dan kedamaian yang menyelimuti dirinya. Ia siap untuk kembali ke asal, kembali ke sumber segala kehidupan.
Dan di saat-saat terakhirnya, Arjuna tersenyum. Ia teringat akan kata-kata Ki Ageng, dalang wayang kulit yang pernah menginspirasinya di masa muda. "Hidup itu panggung sandiwara, Nak. Setiap manusia adalah lakon dengan peran yang berbeda-beda."
Arjuna telah memainkan perannya dengan baik. Ia telah menari di panggung kehidupan dengan indah dan bermakna. Dan kini, tirai telah tertutup. Lakon telah usai.
Namun, tariannya akan terus dikenang, terus menginspirasi, terus memberi makna bagi generasi-generasi mendatang. Karena Arjuna, sang penari kehidupan, telah menciptakan sebuah mahakarya yang abadi.
***
Namun, ketenangan Arjuna diusik oleh sebuah berita yang tak disangka-sangka. Bu Widya, dosen pembimbing sekaligus mentornya, jatuh sakit. Penyakit yang telah lama diderita Bu Widya kembali kambuh, dan kali ini kondisinya jauh lebih serius.
Arjuna segera bergegas menuju kota, menjenguk Bu Widya di rumah sakit. Di ruang perawatan yang steril, ia melihat sosok yang dulu begitu tegar dan inspiratif kini terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, namun sorot matanya masih memancarkan kehangatan dan kebijaksanaan yang sama.
"Arjuna..." lirih Bu Widya saat melihat kedatangan Arjuna.
Arjuna mendekat, menggenggam tangan Bu Widya yang terasa dingin. "Bu Widya, saya di sini."
Air mata mengalir di pipi Bu Widya. "Arjuna, kau tahu, aku selalu bangga padamu. Kau telah menari dengan indah di panggung kehidupanmu."
Arjuna mencoba menahan tangisnya. "Bu Widya, semua berkat Ibu. Ibulah yang membimbing saya, menginspirasi saya, dan menunjukkan jalan hidup saya."
Bu Widya tersenyum lemah. "Ingatlah, Arjuna, hidup adalah anugerah. Teruslah menari, teruslah berkarya, dan teruslah menginspirasi dunia."
Arjuna mengangguk, hatinya penuh har u. Ia tahu, pertemuan ini mungkin menjadi pertemuan terakhir mereka. Ia ingin mengucapkan ribuan terima kasih, ribuan kata penghormatan, namun kata-kata serasa tersangkut di tenggorokannya.
Bu Widya menutup matanya, napasnya semakin melemah. Arjuna terus menggenggam tangannya, menemaninya di saat-saat terakhirnya.
Dan di saat napas terakhir Bu Widya meninggalkan jasadnya, Arjuna merasakan sebuah kehilangan yang mendalam. Ia kehilangan seorang guru, seorang mentor, seorang sahabat.
Namun, Arjuna juga menyadari bahwa warisan Bu Widya akan terus hidup di dalam dirinya. Semangat, kebijaksanaan, dan cinta Bu Widya akan selalu menginspirasinya untuk terus menari di panggung kehidupan, menciptakan tarian yang indah dan bermakna.
Arjuna kembali ke desa dengan hati yang berat. Ia menguburkan Bu Widya di sebuah pemakaman kecil di kaki gunung, di tengah keindahan alam yang dicintai Bu Widya.
Di atas pusara Bu Widya, Arjuna berjanji untuk terus menghidupkan warisannya. Ia akan terus menulis, terus menginspirasi, dan terus menari di panggung kehidupan dengan penuh cinta dan dedikasi.
Karena ia tahu, itulah cara terbaik untuk menghormati kenangan Bu Widya, sang penari kehidupan yang telah menunjukkan jalan kepadanya.
***
Kepergian Bu Widya meninggalkan lubang menganga di hati Arjuna. Kesedihan mendalam menyelimuti hari-harinya, mengaburkan cahaya mentari yang biasa menyinari jiwanya. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan pegangan. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang dulu pernah ia jawab, kini kembali menghantuinya.
"Untuk apa semua ini?" bisiknya lirih pada suatu malam, menatap langit penuh bintang. "Untuk apa aku menulis, untuk apa aku menari di panggung kehidupan, jika pada akhirnya semua akan berakhir seperti ini?"
Kegelisahan Arjuna mencapai puncaknya. Ia berhenti menulis, mengabaikan tawaran wawancara dan seminar, bahkan tak lagi peduli pada komunitas sastra yang ia dirikan. Ia mengasingkan diri di rumah kayunya, tenggelam dalam lautan kesedihan dan keputusasaan.
Hingga suatu hari, di tengah keheningan malam, Arjuna mendengar suara ketukan di pintu. Ia membuka pintu dengan malas, dan mendapati seorang gadis kecil berdiri di hadapannya. Gadis itu membawa sekuntum bunga mawar merah, wajahnya polos dan memancarkan keceriaan.
"Permisi, Pak Arjuna," ucap gadis itu dengan suara manis, "Nama saya Melati. Saya datang untuk memberikan ini." Ia menyodorkan bunga mawar itu kepada Arjuna.
Arjuna tertegun. Ia menerima bunga mawar itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Melati. Tapi, kenapa kau memberikan ini padaku?"
"Ibu saya bilang, bunga mawar ini bisa membuat hati Pak Arjuna kembali ceria," jawab Melati dengan polos. "Ibu saya suka sekali membaca buku-buku Pak Arjuna. Katanya, buku-buku Pak Arjuna memberinya kekuatan dan harapan."
Mendengar kata-kata Melati, hati Arjuna tersentuh. Ia teringat akan surat dari pembaca di desa terpencil, teringat akan semangat para pemuda di komunitas sastra, teringat akan warisan Bu Widya yang harus ia jaga.
Seketika, sebuah kesadaran menyambar jiwanya. Ia menyadari bahwa tariannya di panggung kehidupan belum usai. Masih banyak orang yang menantikan tariannya, masih banyak hati yang perlu ia sentuh, masih banyak jiwa yang perlu ia inspirasi.
Arjuna memeluk Melati erat-erat. "Terima kasih, Melati. Kau telah mengingatkan saya akan makna hidup saya."
Mulai saat itu, Arjuna bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali menulis, kembali menari di panggung kehidupan dengan semangat baru. Ia menulis tentang kehilangan, tentang kesedihan, tentang pencarian makna di tengah penderitaan. Ia menulis dengan jujur dan mendalam, menuangkan seluruh perasaannya ke dalam setiap kata.
Karya-karya Arjuna pasca kepergian Bu Widya memiliki kedalaman emosi yang luar biasa. Ia menulis tentang kehidupan dan kematian, tentang cinta dan kehilangan, tentang harapan dan keputusasaan. Tulisannya menyentuh hati banyak orang, membuat mereka merenung, menangis, dan tersenyum.
Arjuna terus menari di panggung kehidupan hingga akhir hayatnya. Ia meninggalkan warisan berupa karya-karya yang abadi, yang akan terus menginspirasi dan memberi makna bagi generasi-generasi mendatang.
Dan di suatu hari nanti, ketika tirai panggung kehidupan akhirnya tertutup untuknya, Arjuna akan pergi dengan senyum kepuasan. Ia telah menari dengan baik, telah memainkan perannya dengan sempurna. Ia telah menemukan iramanya sendiri, telah menciptakan mahakaryanya sendiri.
Dan tariannya itu, akan terus bergema di hati setiap orang yang pernah tersentuh oleh karyanya. Karena Arjuna, sang penari kehidupan, telah menunjukkan kepada dunia bahwa hidup adalah sebuah tarian yang indah, sebuah tarian yang penuh makna, sebuah tarian yang abadi.
