Sunday, January 19, 2025

KISAH REMBULAN [ARJUNA]




Arjuna: Sang Penari Kehidupan



Fajar merekah di ufuk timur, semburat jingga membelai langit Jakarta. Namun, cahaya mentari pagi itu tak mampu menembus kelam yang menyelimuti hati Arjuna. Ia terbangun dengan sejuta tanya yang berkelindan, menggerogoti jiwanya. Pertanyaan Bu Widya, dosen pembimbing skripsinya, bagai hantu yang terus membayanginya.

"Arjuna, bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja di penghujung pertemuan mereka kemarin. Sederhana, namun menohok sanubari Arjuna. Bagaimana ia akan menari? Ia bahkan tak tahu irama apa yang harus diikuti, tak tahu panggung mana yang akan ia pijak.

Arjuna, pemuda dengan tatapan mata sendu dan jiwa yang penuh gejolak, merasa terjebak dalam pusaran ketidakpastian. Ia bagai kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing di lautan kehidupan. Skripsi yang tak kunjung rampung, mimpi yang terkubur debu, dan masa depan yang buram, semua bercampur aduk menjadi simfoni kekalutan.

Di tengah kemelut batinnya, Arjuna teringat akan perkataan Ki Ageng, seorang dalang wayang kulit yang pernah ditemuinya di sebuah pementasan. "Hidup itu panggung sandiwara, Nak. Setiap manusia adalah lakon dengan peran yang berbeda-beda. Ada yang menjadi raja, ada yang menjadi rakyat jelata, ada yang menjadi pahlawan, ada yang menjadi penjahat. Tapi, ingatlah, setiap lakon memiliki kebebasan untuk menafsirkan perannya, untuk menari dengan gayanya sendiri."

Kata-kata Ki Ageng bagai suluh yang menerangi kegelapan hati Arjuna. Ya, ia adalah lakon dalam panggung kehidupannya sendiri. Ia memiliki kebebasan untuk memilih peran, untuk menari dengan irama yang ia ciptakan. Tapi, bagaimana ia bisa menari jika kakinya terbelenggu keraguan, jika jiwanya terpenjara ketakutan?

Arjuna memutuskan untuk mencari jawaban. Ia mulai menjelajahi lorong-lorong perpustakaan, menelusuri jejak-jejak pemikiran para filsuf, sastrawan, dan seniman. Ia membaca Nietzsche yang berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Sartre yang mengulas tentang eksistensialisme, Khalil Gibran yang merangkai kata-kata indah tentang cinta dan kehidupan.

Ia mendaki gunung, menyelami samudra, dan mengembara ke pelosok negeri. Ia berdialog dengan alam, bercengkrama dengan manusia dari berbagai latar belakang, dan belajar dari setiap pengalaman yang ia temui.

Perlahan, kabut yang menyelimuti pikiran Arjuna mulai tersingkap. Ia menyadari bahwa hidup adalah sebuah perjalanan penemuan jati diri, sebuah proses pencarian makna di tengah lautan eksistensi. Ia menyadari bahwa kebebasan memilih adalah anugerah sekaligus tanggung jawab, sebuah kekuatan yang harus digunakan dengan bijak.

Arjuna kembali ke kampus dengan semangat baru. Ia menuntaskan skripsinya dengan penuh dedikasi, menuangkan seluruh pemikiran dan perenungannya ke dalam setiap baris kalimat. Ia tak lagi sekadar mengejar gelar sarjana, tapi juga mengejar pencerahan, mengejar makna di balik setiap kata yang ia tulis.

Setelah lulus, Arjuna memutuskan untuk tidak mengikuti arus. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan multinasional dan memilih untuk menjadi seorang penulis lepas. Ia ingin bebas mengekspresikan diri, bebas menari di panggung kehidupannya dengan irama yang ia ciptakan sendiri.

Ia menulis tentang keresahan sosial, tentang keindahan alam, tentang cinta dan kehilangan, tentang pencarian jati diri. Tulisannya mengalir bagai air sungai, jernih dan penuh makna. Ia menari dengan kata-kata, merangkai kisah-kisah yang menyentuh hati, menggugah jiwa, dan menginspirasi banyak orang.

Suatu hari, Arjuna bertemu kembali dengan Bu Widya di sebuah acara seminar sastra. Bu Widya terkesima membaca kumpulan cerpen Arjuna yang baru saja diterbitkan.

"Arjuna," ucap Bu Widya dengan mata berkaca-kaca, "kau telah menemukan iramamu sendiri. Kau telah menari dengan indah di panggung kehidupanmu."

Arjuna tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan Bu Widya. Ia telah menemukan caranya untuk menari di panggung kehidupan.

Dan tariannya itu, adalah sebuah simfoni kehidupan yang penuh makna, sebuah mahakarya yang tercipta dari kebebasan memilih, keberanian menghadapi ketidakpastian, dan tekad untuk menari dengan irama hati nurani.


***


Kopi hitam tanpa gula, setia menemani Arjuna di meja kerjanya. Di luar, hujan deras mengguyur kota, membasahi jalanan aspal dan dedaunan di pepohonan. Suara gemericik air beradu dengan denting keyboard laptop, menciptakan melodi sendu yang menghanyutkan. Arjuna larut dalam dunianya sendiri, jari-jarinya menari lincah di atas tuts keyboard, merangkai kata demi kata menjadi untaian kalimat yang puitis.


Di layar laptop, sebuah cerita mulai terbentang. Kisah tentang seorang musafir yang mengembara mencari jati diri, melintasi padang pasir, mendaki gunung tertinggi, menyelami lautan terdalam. Ia berdialog dengan para dewa di puncak gunung, bertukar pikiran dengan para jin di dasar laut, dan berbagi cerita dengan manusia dari berbagai suku dan bangsa.

Musafir itu adalah Arjuna sendiri, refleksi dari jiwanya yang haus akan makna, akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mengganggunya. Ia mencari arti hidup, mencari tujuan di balik segala hiruk pikuk dunia, mencari cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti zaman.

Tiba-tiba, ponsel Arjuna berdering, membuyarkan konsentrasinya. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Dengan sedikit ragu, Arjuna mengangkat telepon.

"Halo?"

"Halo, apakah ini dengan Arjuna?" Suara seorang wanita terdengar di seberang sana.

"Ya, benar. Ini siapa?"

"Saya Rani, dari penerbit Pustaka Jaya. Kami tertarik dengan tulisan-tulisan Anda yang dimuat di website Fiksiana. Kami ingin menawarkan kerja sama untuk menerbitkan karya Anda dalam bentuk buku."

Jantung Arjuna berdetak kencang. Ia tak menyangka tulisannya akan menarik perhatian penerbit besar seperti Pustaka Jaya. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh ia sia-siakan.

"Tentu saja, saya sangat tertarik," jawab Arjuna dengan antusias.

Percakapan singkat itu menjadi titik balik dalam perjalanan Arjuna sebagai penulis. Ia mulai serius menekuni dunia kepenulisan, mengasah bakatnya, dan menghasilkan karya-karya yang semakin berkualitas. Namanya mulai dikenal di kalangan pecinta sastra, tulisannya menghiasi halaman-halaman majalah dan surat kabar, bahkan diadaptasi menjadi film layar lebar.

Namun, di tengah kesuksesannya, Arjuna tak pernah melupakan pesan Bu Widya, "Bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?" Ia menyadari bahwa kesuksesan hanyalah salah satu aspek dari kehidupan, bukan tujuan akhir. Ia tetap rendah hati, terus belajar, dan selalu mencari cara untuk memberi makna pada hidupnya.

Arjuna aktif dalam kegiatan sosial, membantu anak-anak kurang mampu, dan menyuarakan kepeduliannya terhadap isu-isu lingkungan. Ia menggunakan popularitasnya untuk menginspirasi orang lain, untuk mengajak mereka menari di panggung kehidupan dengan irama hati nurani.

Suatu ketika, Arjuna diundang untuk memberikan seminar di almamaternya. Di hadapan ratusan mahasiswa, ia berbagi kisah perjalanannya, tentang bagaimana ia menemukan irama hidupnya sendiri.

"Hidup adalah panggung, dan kita semua adalah penari," ujar Arjuna dengan penuh semangat. "Kita bebas memilih irama, bebas mengekspresikan diri, dan bebas menciptakan tarian kita sendiri. Tapi, ingatlah, tarian yang paling indah adalah tarian yang lahir dari hati nurani, tarian yang memberi makna bagi diri sendiri dan orang lain."

Di akhir seminar, seorang mahasiswa mengacungkan tangan dan bertanya, "Kak Arjuna, bagaimana kita bisa menemukan irama hidup kita sendiri?"

Arjuna tersenyum. "Dengan berani melangkah, dengan berani mencoba, dengan berani mengejar mimpi. Jangan takut gagal, jangan takut jatuh. Karena setiap langkah, setiap kegagalan, adalah bagian dari tarian kehidupan kita."

Arjuna mengakhiri seminar dengan sebuah pesan yang menggugah, "Jadilah penari yang bebas, penari yang berani, penari yang menari dengan irama hati nurani. Ciptakan tarian kehidupanmu sendiri, dan jadikan dunia sebagai panggungmu!"

Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Di antara kerumunan mahasiswa, Arjuna melihat sosok Bu Widya yang tersenyum bangga. Ia tahu, tariannya di panggung kehidupan baru saja dimulai.


***


Tahun-tahun berlalu, Arjuna menjelma menjadi penulis ternama. Karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa, memenangi penghargaan bergengsi, dan diadaptasi ke berbagai media, dari teater hingga komik. Ia menjelajahi dunia, menghadiri festival sastra internasional, berdiskusi dengan penulis-penulis hebat dari berbagai belahan bumi.

Namun, di tengah gemerlap dunia literasi, Arjuna tetaplah Arjuna yang dulu. Pemuda dengan tatapan sendu yang menyimpan sejuta makna. Ia tak silau oleh popularitas, tak terlena oleh pujian. Ia tetap membumi, mengingat asal-usulnya, dan menghargai setiap orang yang bertemu dengannya.

Arjuna tak pernah lupa akan pertanyaan Bu Widya yang telah membangkitkan kesadarannya. Ia selalu merenungkan makna hidup, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak pernah habis digali. Ia menulis bukan hanya untuk menghibur atau mendidik, tetapi juga untuk menemukan makna, untuk memahami hakikat keberadaan manusia.

Suatu hari, Arjuna menerima surat dari seorang pembaca di sebuah desa terpencil. Surat itu ditulis dengan tangan, di atas kertas lusuh yang sudah menguning. Si pembaca menceritakan bagaimana karya-karya Arjuna telah mengubah hidupnya, memberinya harapan di tengah kesulitan, dan menginspirasinya untuk menjadi seorang penulis.

Arjuna tersentuh membaca surat itu. Ia menyadari bahwa tulisannya memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan mengubah hidup orang lain. Ia merasa bertanggung jawab untuk menggunakan kekuatan itu dengan bijak, untuk menebar kebaikan dan menginspirasi dunia.

Arjuna kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas sastra di desa tersebut. Ia ingin berbagi ilmu dan pengalamannya dengan para pemuda desa, ingin membantu mereka menemukan bakat dan mengembangkan potensi diri. Ia ingin menciptakan ruang bagi mereka untuk menari di panggung kehidupan dengan irama mereka sendiri.

Komunitas sastra itu berkembang pesat. Para pemuda desa yang awalnya malu-malu dan ragu, kini berani mengungkapkan diri melalui tulisan. Mereka menulis puisi, cerpen, esai, bahkan novel. Karya-karya mereka dipublikasikan di media lokal, bahkan ada yang berhasil menerbitkan buku dan menjuarai lomba menulis.

Arjuna merasa bahagia melihat semangat dan antusiasme para pemuda desa. Ia bangga menjadi bagian dari perjalanan mereka, bangga bisa membantu mereka menemukan irama hidup mereka sendiri.

Di suatu sore yang tenang, Arjuna duduk di beranda rumahnya di desa. Ia menatap ke arah sawah yang terbentang luas, melihat anak-anak berlarian dan petani yang sedang bekerja. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia telah menemukan makna hidupnya, telah menari di panggung kehidupan dengan irama yang indah dan bermakna.

Tiba-tiba, ia teringat akan pertanyaan Bu Widya bertahun-tahun yang lalu. "Bagaimana kau akan menari di panggung kehidupanmu sendiri?" Arjuna tersenyum. Ia telah menemukan jawabannya. Ia telah menari dengan penuh cinta, keberanian, dan dedikasi. Ia telah menari dengan irama hati nurani.

Dan tariannya itu, akan terus berlanjut, menginspirasi dan memberi makna bagi dunia.


***


Di usia senjanya, Arjuna memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Ia membeli sebidang tanah di kaki gunung, membangun rumah kayu sederhana, dan menanam berbagai jenis bunga di halamannya. Ia hidup tenang, menikmati udara segar, dan menghabiskan hari-harinya dengan membaca, menulis, dan bermeditasi.

Sesekali, ia  menerima  kunjungan  dari  para  sahabat  lama,  mahasiswa,  dan  penggemar  karyanya.  Mereka  datang  untuk  berbagi  cerita,  berdiskusi  tentang  sastra,  atau  sekadar  menikmati  keindahan  alam  bersama.  Arjuna  selalu  menyambut  mereka  dengan  hangat,  menawarkan  secangkir  teh  herbal  dan  kebijaksanaan  yang  ia  peroleh  sepanjang  perjalanan  hidupnya.

Pada  suatu  pagi  yang  cerah,  Arjuna  terbangun  dengan  perasaan  yang  tenang  dan  damai.  Ia  menyiapkan  secangkir  kopi,  duduk  di  beranda,  dan  menikmati  hangatnya  sinar  matahari  pagi.  Ia  merasakan  sebuah  kepuasan  yang  mendalam,  sebuah  rasa  syukur  yang  tak  terhingga  atas  semua  anugerah  yang  telah  ia  terima.

Tiba-tiba,  ia  teringat  akan  mimpi  yang  pernah  ia  alami  di  masa  mudanya.  Mimpi  tentang  seorang  penari  yang  menari  dengan  indah  di  atas  panggung,  diiringi  musik  yang  merdu  dan  cahaya  yang  gemerlap.  Penari  itu  adalah  dirinya  sendiri,  menari  di  panggung  kehidupan,  menciptakan  tarian  yang  unik  dan  bermakna.

Arjuna  tersenyum.  Ia  telah  menjalani  mimpi  itu.  Ia  telah  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  penuh  semangat,  cinta,  dan  dedikasi.  Ia  telah  menciptakan  tarian  yang  indah,  tarian  yang  menginspirasi  dan  memberi  makna  bagi  dunia.

Dan  kini,  di  penghujung  perjalanannya,  Arjuna  siap  untuk  menutup  tirai  panggung  kehidupannya  dengan  senyum  kepuasan.  Ia  telah  menari  dengan  baik,  telah  memainkan  perannya  dengan  sempurna.  Ia  telah  menemukan  iramanya  sendiri,  telah  menciptakan  mahakaryanya  sendiri.

Arjuna  menghela  napas  panjang,  merasakan  udara  segar  mengalir  ke  dalam  paru-parunya.  Ia  menutup  matanya,  menikmati  keheningan  dan  kedamaian  yang  menyelimuti  dirinya.  Ia  siap  untuk  kembali  ke  asal,  kembali  ke  sumber  segala  kehidupan.

Dan  di  saat-saat  terakhirnya,  Arjuna  tersenyum.  Ia  teringat  akan  kata-kata  Ki  Ageng,  dalang  wayang  kulit  yang  pernah  menginspirasinya  di  masa  muda.  "Hidup  itu  panggung  sandiwara,  Nak.  Setiap  manusia  adalah  lakon  dengan  peran  yang  berbeda-beda."

Arjuna  telah  memainkan  perannya  dengan  baik.  Ia  telah  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  indah  dan  bermakna.  Dan  kini,  tirai  telah  tertutup.  Lakon  telah  usai.

Namun,  tariannya  akan  terus   dikenang,  terus  menginspirasi,  terus  memberi  makna  bagi  generasi-generasi  mendatang.  Karena  Arjuna,  sang  penari  kehidupan,  telah  menciptakan  sebuah  mahakarya  yang  abadi.


***


Namun, ketenangan Arjuna diusik oleh sebuah berita yang tak disangka-sangka. Bu Widya, dosen pembimbing sekaligus mentornya, jatuh sakit. Penyakit yang telah lama diderita Bu Widya kembali kambuh, dan kali ini kondisinya jauh lebih serius. 

Arjuna segera bergegas menuju kota,  menjenguk Bu Widya di rumah sakit.  Di ruang perawatan yang steril,  ia melihat sosok yang dulu begitu tegar dan inspiratif kini terbaring lemah di ranjang.  Wajahnya pucat,  namun  sorot  matanya  masih  memancarkan  kehangatan  dan  kebijaksanaan  yang  sama.

"Arjuna..."  lirih  Bu  Widya  saat  melihat  kedatangan  Arjuna.

Arjuna  mendekat,  menggenggam  tangan  Bu  Widya  yang  terasa  dingin.  "Bu  Widya,  saya  di  sini."

Air  mata  mengalir  di  pipi  Bu  Widya.  "Arjuna,  kau  tahu,  aku  selalu  bangga  padamu.  Kau  telah  menari  dengan  indah  di  panggung  kehidupanmu."

Arjuna  mencoba  menahan  tangisnya.  "Bu  Widya,  semua  berkat  Ibu.  Ibulah  yang  membimbing  saya,  menginspirasi  saya,  dan  menunjukkan  jalan  hidup  saya."

Bu  Widya  tersenyum  lemah.  "Ingatlah,  Arjuna,  hidup  adalah  anugerah.  Teruslah  menari,  teruslah  berkarya,  dan  teruslah  menginspirasi  dunia."

Arjuna  mengangguk,  hatinya  penuh  har  u.  Ia  tahu,  pertemuan  ini  mungkin  menjadi  pertemuan  terakhir  mereka.  Ia  ingin  mengucapkan  ribuan  terima  kasih,  ribuan  kata  penghormatan,  namun  kata-kata  serasa  tersangkut  di  tenggorokannya.

Bu  Widya  menutup  matanya,  napasnya  semakin  melemah.  Arjuna  terus  menggenggam  tangannya,  menemaninya  di  saat-saat  terakhirnya.

Dan  di  saat  napas  terakhir  Bu  Widya  meninggalkan  jasadnya,  Arjuna  merasakan  sebuah  kehilangan  yang  mendalam.  Ia  kehilangan  seorang  guru,  seorang  mentor,  seorang  sahabat.

Namun,  Arjuna  juga  menyadari  bahwa  warisan  Bu  Widya  akan  terus  hidup  di  dalam  dirinya.  Semangat,  kebijaksanaan,  dan  cinta  Bu  Widya  akan  selalu  menginspirasinya  untuk  terus  menari  di  panggung  kehidupan,  menciptakan  tarian  yang  indah  dan  bermakna.

Arjuna  kembali  ke  desa  dengan  hati  yang  berat.  Ia  menguburkan  Bu  Widya  di  sebuah  pemakaman  kecil  di  kaki  gunung,  di  tengah  keindahan  alam  yang  dicintai  Bu  Widya.

Di  atas  pusara  Bu  Widya,  Arjuna  berjanji  untuk  terus  menghidupkan  warisannya.  Ia  akan  terus  menulis,  terus  menginspirasi,  dan  terus  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  penuh  cinta  dan  dedikasi.

Karena  ia  tahu,  itulah  cara  terbaik  untuk  menghormati  kenangan  Bu  Widya,  sang  penari  kehidupan  yang  telah  menunjukkan  jalan  kepadanya.


***


Kepergian Bu Widya meninggalkan lubang menganga di hati Arjuna. Kesedihan mendalam menyelimuti hari-harinya, mengaburkan cahaya mentari yang biasa menyinari jiwanya. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan pegangan. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang dulu pernah ia jawab, kini kembali menghantuinya.

"Untuk apa semua ini?" bisiknya lirih pada suatu malam, menatap langit penuh bintang. "Untuk apa aku menulis, untuk apa aku menari di panggung kehidupan, jika pada akhirnya semua akan berakhir seperti ini?"

Kegelisahan Arjuna mencapai puncaknya. Ia berhenti menulis, mengabaikan tawaran wawancara dan seminar, bahkan tak lagi peduli pada komunitas sastra yang ia dirikan. Ia mengasingkan diri di rumah kayunya, tenggelam dalam lautan kesedihan dan keputusasaan.

Hingga suatu hari, di tengah keheningan malam, Arjuna mendengar suara ketukan di pintu. Ia membuka pintu dengan malas, dan mendapati seorang gadis kecil berdiri di hadapannya. Gadis itu membawa sekuntum bunga mawar merah, wajahnya polos dan memancarkan keceriaan.

"Permisi, Pak Arjuna," ucap gadis itu dengan suara manis, "Nama saya Melati. Saya datang untuk memberikan ini." Ia menyodorkan bunga mawar itu kepada Arjuna.

Arjuna tertegun. Ia menerima bunga mawar itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Melati. Tapi, kenapa kau memberikan ini padaku?"

"Ibu saya bilang, bunga mawar ini bisa membuat hati Pak Arjuna kembali ceria," jawab Melati dengan polos. "Ibu saya suka sekali membaca buku-buku Pak Arjuna. Katanya, buku-buku Pak Arjuna memberinya kekuatan dan harapan."

Mendengar kata-kata Melati, hati Arjuna tersentuh. Ia teringat akan surat dari pembaca di desa terpencil, teringat akan semangat para pemuda di komunitas sastra, teringat akan warisan Bu Widya yang harus ia jaga.

Seketika,  sebuah  kesadaran  menyambar  jiwanya.  Ia  menyadari  bahwa  tariannya  di  panggung  kehidupan  belum  usai.  Masih  banyak  orang  yang  menantikan  tariannya,  masih  banyak  hati  yang  perlu  ia  sentuh,  masih  banyak  jiwa  yang  perlu  ia  inspirasi.

Arjuna  memeluk  Melati  erat-erat.  "Terima  kasih,  Melati.  Kau  telah  mengingatkan  saya  akan  makna  hidup  saya."

Mulai  saat  itu,  Arjuna  bangkit  dari  keterpurukannya.  Ia  kembali  menulis,  kembali  menari  di  panggung  kehidupan  dengan  semangat  baru.  Ia  menulis  tentang  kehilangan,  tentang  kesedihan,  tentang  pencarian  makna  di  tengah  penderitaan.  Ia  menulis  dengan  jujur  dan  mendalam,  menuangkan  seluruh  perasaannya  ke  dalam  setiap  kata.

Karya-karya  Arjuna  pasca  kepergian  Bu  Widya  memiliki  kedalaman  emosi  yang  luar  biasa.  Ia  menulis  tentang  kehidupan  dan  kematian,  tentang  cinta  dan  kehilangan,  tentang  harapan  dan  keputusasaan.  Tulisannya  menyentuh  hati  banyak  orang,  membuat  mereka  merenung,  menangis,  dan  tersenyum.

Arjuna  terus  menari  di  panggung  kehidupan  hingga  akhir  hayatnya.  Ia  meninggalkan  warisan  berupa  karya-karya  yang  abadi,  yang  akan  terus  menginspirasi  dan  memberi  makna  bagi  generasi-generasi  mendatang.

Dan  di  suatu  hari  nanti,  ketika  tirai  panggung  kehidupan  akhirnya  tertutup  untuknya,  Arjuna  akan  pergi  dengan  senyum  kepuasan.  Ia  telah  menari  dengan  baik,  telah  memainkan  perannya  dengan  sempurna.  Ia  telah  menemukan  iramanya  sendiri,  telah  menciptakan  mahakaryanya  sendiri.

Dan  tariannya  itu,  akan  terus  bergema  di  hati  setiap  orang  yang  pernah  tersentuh  oleh  karyanya.  Karena  Arjuna,  sang  penari  kehidupan,  telah  menunjukkan  kepada  dunia  bahwa  hidup  adalah  sebuah  tarian  yang  indah,  sebuah  tarian  yang  penuh  makna,  sebuah  tarian  yang  abadi.


________________________

Sunday, June 30, 2024

Narasi Parafrase #3

 

TUGASKU DI BUMI TIDAK HANYA UNTUK MENGEJARMU



Menangislah untuk hal yang sangat mengecewakan dirimu hari ini. Namun setelah subuh menjelang, bahagialah! Karena hal itu tak perlu kau tangisi lagi. Dia lenyap, terhapus oleh bulir-bulir air matamu.


***

Selamat malam seseorang ...

Masih ingat senjaku? Yang sering kau tunggu indahnya. Aku pernah memiliki seseorang yang kukira selamanya dan ternyata aku salah. Aku hanya sedang mempertahankan seseorang yang semu. Sementara itu, kamu sadar tidak, waktu sepertinya menertawakan kita. Bagaimana tidak, saat kamu pergi, sungguh aku sedang kencang-kencangnya berlari. Hampir semua yang kamu minta, aku ada. Semua yang kamu butuh aku sedia. Tapi kamu tidak pernah melihat usahaku memenuhimu.

Aku salah apa, sih? Rasanya yang kuberi hanya sia-sia. Padahal kamu tidak tahu, ‘kan? Aku hampir saja kehilangan diriku sendiri demi menjadi seseorang yang kamu minta. Sesosok bayangan sempurna yang sepertinya manusia di bumi ini tidak ada yang bisa memenuhinya. Aku ini manusia biasa, masih punya air mata, masih punya nama. Maaf, aku tak bisa menjadi seperti yang kamu inginkan. Karena inginmu terlalu banyak, aku tak sanggup. Sejauh ini, sepertinya kisah kita bukan tentang aku dan kamu. Tapi tentang kamu dan sesosok bayangan indah yang selalu kamu impikan.

Aku hanya ingi menitip pesan. Jika ingin mencari yang terbaik, maaf ini dunia bukan negeri dongeng. Di sini semua manusia punya salah dan punya kurang. Di sini, manusia juga punya jiwa dan kamu tidak bisa mengubah jiwa seseorang hanya demi memenuhi ekspektasimu yang terlalu tinggi. Kamu egois, tidak punya rasa. Coba kamu bayangkan besarnya usahaku untuk bisa berubah.

Maaf, itu bukan diriku yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu tahu, aku sakit lho waktu kamu bilang, "Tolong berubah demi aku." Itu aku tak bisa. Aku mundur, ya? Karena aku sudah terlalu lelah berlari. Kamu tak bisa dikejar, dan tugasku di bumi tidak hanya untuk mengejarmu. Masih banyak yang harus aku lakukan, seperti menjadi sosok ‘aku’ misalnya. Karena sebenarnya aku ini istimewa dan aku harap akan ada seseorang yang bisa menerima istimewanya diriku sendiri. Terima kasih, ya. Sudah mengajarkanku rasanya berjuang tanpa dilihat sedikit pun. Kalau misalnya berlari dan mengejar sudah tak dianggap, cukup.

***





Selepas kau pergi, aku yang benci menangis

Berat mengubah sikap, sebab demi Tuhan rasa ini masih sama. Memandang wajahmu aku tak sudi. Oh, jangan sampai di hadapanmu aku meneteskan air mata. Mengertilah aku adalah lelaki yang benci menangis. Mengertilah, telah semampunya aku tak ingin melihatmu lagi. Sementara waktu telah menyeretku jauh dari ragamu. Aku saja menjadi benci menjadi aku. Yang berharap kembali di detik-detik itu. Di Pelukanmu, betapa pesta yang sia-sia. Ria yang percuma. Pada tiap esok yang kupunya hanya akan ada satu tanya, “Kau di mana?” Sesungguhnya aku ingin sekali lagi berkata, “iya.” Namun tiada pintamu datang kepadaku. Mungkin aku hanya terlalu sering berpikir tentang satu hari yang tidak akan pernah datang.

Tidak seharusnya kita menyesatkan ini semua. Aku masih menyesali itu. Ada rasa rindu kepada aku yang dulu. Aku yang tak kenal kamu. Sebab dari kehilanganmu, aku menemukan persamaan. Antara udara dan bebutiran, aku telah hancur, tubuhku mengurus, jiwaku menguras. Telah kujadikan kakiku selingan kapas, agar aku tak dapat lagi memahami langkahku. Tetapi aku tidak dapat menyelamatkan dunia. Sekarang bantulah semua orang agar membenciku. Kau tidak sendiri, aku menjadi orang lain. Aku yang dulu, yang kau cintai itu telah tiada. Jurang telah memanggil seluruh aku yang tanpa kamu.

Thursday, June 27, 2024

NARASI PARAFRASE #2

BINTANGKU TERLALU REDUP UNTUK TERBANG BERSAMAMU


Misterherisugi


***

Setidaknya jika kita tidak bisa menyatu, kita masih bisa bertemu. Mungkin hanya sekadar menanyakan, “Hai apa kabar?” Aku benar-benar tidak apa-apa, kalau memang harus pergi, itu memang sudah seharusnya. Hadirku selama ini mungkin saja sebagai pelengkap. Terima kasih sudah pernah menjadi tokoh utama dalam ceritaku. Kamu baik, kamu lucu. 

***


Kita semua pasti pernah punya seseorang yang pandai mengajak kita terbang ke angan-angan. Berdiri bersama, sampai sesekali lupa bahwa jatuh adalah sebuah kepastian. Kita tahu, sejauh ini mungkin kita hanya sedang dimainkan oleh semesta. Dunia memang begitu, isinya hanya seputar patah hati yang berkelanjutan. 

Manusia-manusia bumi terkadang suka bercanda yang berlebihan. Misalnya masalah hati, tolong jangan terlalu manis. Karena hadirmu saja sudah cukup, atau mungkin sepertinya dia tidak manis. Kadang diri sendiri harapannya berlebihan, tolong jangan buat aku terbang terlalu tinggi karena aku takut jatuh sendirian. Kau tahu pasti, bahwa sayapku ini mudah patah. Sakit sehari tidak cukup setahun untuk menyembuhkannya. Jujur aku takut terbang sendirian, tapi anganku tak mungkin kubiarkan sendiri. Tidak harus dengan kamu, bagiku hadirmu di bumi saja sudah cukup. 

Dulunya aku ini periang, tapi entah mengapa semenjak aku tahu bahwa di bumi ada kamu, aku jadi mudah rapuh bahkan mudah menangis tanpa sebab. Saat aku sedang patah-patahnya, terkadang tidak satu pun orang yang tahu karena aku takut merepotkan banyak hati, termasuk kamu. Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan bahu, bayanganmu tersenyum saja sudah cukup buatku. 

Aku tidak tahu seberapa jauh lagi aku terbang. Kamu terlalu baik. Kamu memang tak tahu perihal ini, karena semua ini adalah hal yang rumit. Beberapa kali aku sering berdiskusi tentangmu dengan hatiku sendiri. Katanya dia bingung, tuannya begitu payah. Aku ingin turun, udara di atas langit begitu jahat. Aku belum siap bertahan dengan ribuan bintang lainnya. Bintangku ini terlalu redup, tidak pantas untuk langitmu yang megah. Lihat, bintang-bintang yang lain cahayanya terlalu terang, membuatku silau. 

Mungkin dengan cahaya bintangku yang redup ini, aku tak akan terlihat. Tapi kau tahu, untuk terbang sejauh ini sangatlah susah. Aku harus menghabiskan tenagaku, karena untuk terbang sendirian butuh angan yang selalu bisa menguatkan. Di dalam anganku tadi ada kamu, semoga anganmu siap menerima hadirku atau kurasa jangan. Ya, lupakan. Sebaiknya aku harus jatuh, tak layak kuberada di sini.

Lupakan diksiku tadi, anggap saja aku sedang bercanda. Terima kasih, ya. Aku pamit. Kalau tidak merepotkan, tolong lupakan aku dan biarkan bintangku jatuh agar aku bisa menjadi permohonan untuk orang lain, itu akan lebih bermanfaat bagiku. Karena setelahnya aku akan hilang. Setidaknya ada harapan yang kubawa, harapan orang lain. Pada akhirnya, aku hilang selamanya.

Wednesday, June 26, 2024

CERPEN #3


PADA POHON YANG TUMBUH DAN PAGINYA


Siapa menyangka ia akan sepagi ini, ditemani sinar rembulan yang mulai hilang, lalu disapa oleh deburan kasat mata. Baru kemarin ia keluar dari rumah keduanya, diantar ibu dan ayah. Rumah itu ia bayar setiap hari, untuk kelas nomor satu. Ia benci rumah itu―sangat benci. Tapi ia tahu, rumah itu harus ditempati, atau sekadar disinggahi sepulang sekolah. Temaram pagi ia lupa, tak dilihat sama sekali. Ia tahu ada sesuatu datang. Rangkaian suara terdistorsi lewat kerikil hitam, teman abadinya di kala membunuh waktu. Menikmati senja―di sini. Ia tahu bahwa ia akan di jemput, “Tapi ini belum waktuku,” pikirnya. 

Angin lautan menerbangkan rambut ikalnya bak gaun pengantin, sesuatu yang selalu menghantui malam-malam singkatnya. Ia merasa tidak pernah bersama Athena, ataupun Dewi Fortuna. Sosok Burdi, kekasih yang ia cinta raib tanpa asa. Sekarang tinggal menunggu giliran untuknya, mungkin. Burdi menyatukan tangan, berucap sumpah di sini. Ditemani guguran daun Asem dan kepulan asap. Asap ikan bakar dari sebuah gubuk tua, di mana sang nenek tinggal sebatang kara melawan kebisingan globalisasi. 

Itu kali pertama ia merengkuh sang waktu, mengidamkannya tanpa mengumpat sang waktu seperti hari-hari belakangan. Saat ini ia berpikir. Nenek telah meninggal, kemarin. Meninggalkan kepulan asap ikan bakar yang tersusup di antara sebaran daun Asem muda. Siapa yang membakar ikan di gubuk tua itu? Tiada sempat ia berkehendak untuk merangkai pikiran. Ia hanya terhenyak. Tanpa asa tanpa nestapa. Mozaik Burdi terangkai, berasas deburan ombak di temaramnya dini hari. Air mata teralir, dievaporasi embrio sinar sunrise yang sembari meratap dunia. Matahari, sekali lagi, menungkas tangisnya.

“Athena … Dewi Fortuna … apakah kalian ada di sekitarku sekarang?” ratap anak itu.

Ufuk timur merekah malu, bertemu kekasih tercintanya, sang dunia. Hari ini, esok dan seterusnya pasangan ini takkan tereliminasi waktu. Kecuali, 85 Miliar tahun lagi, di saat matahari terkonversi menjadi penghisap hitam besar, black hole. Ia bahkan melupakan sang dunia, kekasihnya. Dunia akan dilahapnya tanpa pandang bulu.

Bahkan, beberapa pihak mentesiskan asumsi, kekasih sang fajar akan terjun ke sebuah dunia baru. Lewat white hole, jelas tesis tersebut. Walau ia tak percaya tesis, seperti alamat yang Burdi tujukan kepadanya, tapi tesis satu ini terkonveksi menelusuri pembuluh vena dan menuju ke empedu, jauh di mata dekat di hati.

“Oh Tuhan, aku ingat Burdi lagi. Maaf Udi, untuk selalu mengumandangkan namamu dari dunia fana ini. Aku tahu, kau sudah cukup terganggu dengan sejutapesan dan doa yang kuteleportasi dari hatiku. Sekali lagi, maafkan aku sayang.” Thesis tadi seperti kenyataannya. 

Kematian Burdi dulu akan menyiksa, hingga akhirnya mencabut jiwa. Tanpa kau tahu, kau menjadi black hole itu. Dan, Ia akan dikirim dan akan didapati dirinya di tempat baru. Dengan Burdi, harapnya.

“Marilah … kau sudah tahu semua. Aku tidak perlu bersua percuma. Segera ambil takdirmu.” kata peri yang sedari tadi meringkuk malu di samping gubuk nenek. Ia tahu sang peri bingung. Peri itu kasihan padanya, dan peri itu ditugaskan mengeksekusinya. Ia tahu.

Ia gubris dengung malu si peri, beranjak dari sudut cakrawala di ufuk tengah. Sebuah impuls hebat menggoyah otaknya kuat. Saluran eusthacius² di telinganya sudah tiada respon fungsi. Jangankan berjalan, berdiri pun ia tergontaikan angin.

“Jika kau mampu melewati candi itu,turun kuberangkat tanpamu.”

Kata peri memberi secercah cahaya, walau ia tahu ia tidak akan bisa merujuk candi itu. Dikerahkan tenaganya yang hampir bernilai minus, menimbun asam laktat di jaringan otot. Ia belum menyerah, ia sudah menyangka Rindi akan sepagi ini. Ditemani Semua hal, suatu pesan terkirim ke otaknya.

“Oh tidak!” pikirnya.

Sang atasan sudah menagih. Ia sudah terlambat dua hari. Sedari tadi ia meringkuk di tepi gubuk tua. Ya, bersama konveksi asap ikan bakar yang menuju ether³ bak deburan air terjun yang selalu akan menghantam batuan di bawahnya. Rindi telah sadar, sedari tadi. Dirinya dan tujuannya. Ialah sekarang air terjun itu, dan Rindi adalah batuan di bawahnya. Segera, batuan tersebut akan terbelah oleh sinar gama. Sinar gama berwujud peri kecil yang meringkuk tegas di samping temaram gubuk tua, bersandar. Ia mengangkat tongkat malaikat itu. Orang bilang tongkat itu indah, baik dan suci. Tetapi, di balik tirai tipisnya meruncing beribu jarum bergerigi, tajam. Terasah oleh literan darah yang tergilas. Setajam pisau Rudra. Ia melakukannya terpaksa.

Kebimbangan adalah teman seharinya Nian, bak makan buah simalakama di setiap harinya. Kali ini sebuah lagu akan berusaha ia telan. Sementara, Rindi Tergopoh tindih berjalan menuju candi itu. Tubuh kecil rapuhnya tak kuat menahan sebagian jiwa yang telah hilang. Ia tahu dengan bantuan seribu dokter dan kepulan asap kemenyan paranormal pun Rindi tidak akan bisa bertahan dalam sepuluh menit. Jadi,dibentangkannya ruang dan waktu. Mengarungi Sebuah relativitas massa. Di mana, tubuhnya melanggar hukum gravitasi dan melesat melawan gesekan angin. Terbang!

Aku telah menyangka mereka akan sepagi ini. Peri dengan kebimbangan semu aktivitas, dan tongkatnya. Rindi, yang menunggu hujan deras di pagi hari. Aku tahu akan ada sebuah buah simalakama yang akan terdigesi menjadi mozaik energi dalam respirasi. Aku juga tahu stula sarira⁴ akan terjerembab dalam sepuluh menit. Menyembah tanah tanpa merindukan langit atau bahkan sang penguasa ufuk timur-barat lagi. Kalian tahu, ini menyiksa!

Dalam masa kecilku yang masih 30 tahun ini aku kurang beruntung. Melihat kejadian ini hampir setiap tahunnya. Resah dan geram. Apa boleh buat, nenek Rusman telah menumbuhkanku di tempat ini. Merawat dan mengasihiku. Tak apa, aku telah membalasnya melalui guguran buahku. Cintalah yang membuat buah itu selalu tersedia. Cinta nenek. 

Pandanganku telah tervisualisasi dengan semua kejadian di tanah ini. Tubuh mungil nenek ketika kecil yang melompati dahanku atau tangis terisaknya ketika mengetahui daunku di rusak tetangga. Nenek cengeng, begitupun aku. Aku tahu nenek menumpah air mata. Nenek tidak tahu aku terluka terisak.

Nenek juga menumbuhkan beberapa teman seperjuanganku. Aku memanggilnya Jagur dan Jugar. Mereka baik. Jugar sudah remaja. Ia sebelas tahun. Sedangkan Jagur seumuranku. Kami tidak sapa jua, setengah abad lebih. Tapi kami berkomunikasi. Kemotaksis, Fotonasti, dan lainnya. Kalian pasti mengerti. Ingatan menempel di otak kiri. Beberapa hari silam mereka mati. Di tebang tepatnya. Buruh gergaji berbahan bakar hidrokarbon perusak bumi, pelakunya. Rupiah bernominal lima ratus ribu penyebabnya. Uang itu pun tidak habis dalam satu minggu. Cuma dua kali dua puluh empat jam. Wanita kafe penjaja diri aliran uang itu. Dan! Saudaraku korbannya! Meretas nasib sebelas dan tiga puluh tahun. Bersenang dalam sunyi. Berteman sepi dan budi. Menelan kesendirian mentah bersamaku. Melihat pengeksekusian Rindi–Rindi lain. Menelan air mata. Mengunyah pahitnya getah empedu hati. Tapi mereka mati. Ya, satu hal. Mereka mati!

Pikiran kembali merasuki raga ini. Kami memang hebat, memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu. Berselancar menuju dimensi ke delapan. Melanjutkan waktu ketika semua tidak sadar bahkan, acuh sekalipun tidak. Rindi menjadi fokus utamaku karena menolak pemberhentian waktuku, sedang sang peri memilih untuk tidak.

Rindi dapat melebar jarak dan asa. Untuk menarik napas, barang satu-dua menit. Tetesan darah menaati gaya gravitasi, menuju ke energi potensial nol. Kesadarannya bergerak menuju bilangan imajiner. Jauh dari realita. Hidup dari semangat.

“Brukk!” tubuh Rindi tergeletak tanpa cita di atas kerikil yang meradiasi panas matahari. 

Ia bangkit

Melangkah

Berjalan

Lagi. 

Si peri telah melesat bersenjata pisau Rudra. Siap mengambil roh seorang tak berdaya. Sang peri sudah dekat―sangat dekat. Momen itu akan terjadi. Sebentar lagi. Biasanya Jugar yang yang menggugurkan daun dan dahan. Menutup kesempatan bagi pohon seperti diriku melihat kekejaman penguasa. Peguasa dunia. Lalu, akan kudapati tubuh kosong dikelilingi sanak saudara yang berlomba bersua menembus langit. Aku gemetar. Sudah cukup kematian nenek, jugar, dan Jagur.

Ruang dan waktu nampak terdiam. Mengejek ketidakberdayaan makhluk paling rendah. Aku. Ketidakberdayaan ini. Sungguh. Hampa, tangis, geram, dan mematung. Semua abstrak. Bayang kasih sayang nenek, menggelora. Radiasi cinta kasih yang mendarah daging hingga ke dalam xylem dan floemku. Jagur dan Jugar. Peneman di kala gundah rasa bercampur tawa hampa. Pengaku keberadaanku. Teman penghabis sisa hidup di mayapada. Tergilas gergaji mesin jahanam. Tiada permintaan terakhir. Semua sudah hilang.

Rindi, tinggal menghisap detik terakhir hidup. Pisau itu dekat. Begitu dekat. Angin cakra telah menembuh epidermis Rindi. Ia menggetar, aku tidak diam. Kulayangkan ruang-waktu, sekali lagi. Rindi dapat selamat. Ia melanggar sepuluh menit peri.

Sang peri geram! Dua peri lain turun menggelegar membelah dari langit ke tujuh. Tiga buah tongkat berlusinan jeruji meruncing. Tak ayal, Rindi merintih, dalam tarikan napas. Tiada berekspresi suara secuil debu pun. Aku dapat merasa, Ia mengingat semua kesalahannya. Korupsi, Prostitusi dan Atheis. Tapi tiga peri liar itu tak mengenal maaf. Mereka hanya menunaikan tugas. Kemampuanku membuang ruang waktu habis.

Sementara, lentera dalam diri Rindi telah redup. Tiga peri telah berdiri tegas menghadang. Rini terisak. Ketiga peri menganggarkan senjata, dia bersiap menikam. Seketika, deburan ombak menunjuk Burdi. Ya, asa burdi bereformasi lagi. Menghambat peri, melawan takdir! Sebuah suara seraya mengintip lekat. Pak Burhan, pekerja, berkesepakatan dengan anak nenek. Menyerahkan enam ratus ribuan hangat lalu membawa gergaji mesin. Kuputar pandangan sekitar bumiku. Tidak! Tidak ada pohon selain diriku! Lalu siapakah sasarannya? Aku? Kuterpejam dalam siksa menanti melodi Tuhan.

Narasi Parafrase #1

 SETIAP KITA, PASTI MENGALAMI KEGAGALAN. 

Misterherisugi


  Bagaimana kabar kita hari ini? Apakah yang semua peluh akhirnya luruh? Atau masih ada lelah yang berujung menyerah? Tidak apa-apa kalau misalnya hari ini kita belum bisa, kita tak sempurna karena kita manusia. Untuk pundak yang mungkin sudah lelah menahan beban yang datang tanpa perintah, juga untuk mata yang kadang airnya sering jatuh begitu saja. Tubuhmu mungkin penat, tidak ada salahnya untuk duduk sebentar dan kembali menatap matahari. Besok masih banyak yang harus dikejar, jangan habiskan dirimu sehari ini saja. Semua akan berlalu, satu persatu. Biar air matamu reda dulu, baru nanti kita coba lagi. 

 Tak ada salahnya bangga dengan diri sendiri. Setidaknya berikan penghargaan kecil untuk dirimu itu, jiwanya larut dalam kalut. Di bumi ini manusia akan terus berputar di atas rodanya masing-masing. Jangan jadi apa yang belum tentu pantas untuk dirimu, jiwa kita indah dengan bajunya sendiri. Coba lihat lagi dirimu yang sudah pernah menari di atas luka. Sejauh ini kamu bisa, ‘kan? Hanya mungkin, jalanmu masih jauh di depan sana. Tapi tidak ada yang tahu indahnya berada di depan orang. Makanya, jadilah seseorang yang layak didengar dan layak dicinta. Tak mengapa jika hari ini kita gagal. 

 Terima kasih untuk setiap luka dengan guratan-guratan senja yang mengungkung semesta. Setelah hari ini, akan ada sinar yang mengarah ke sorot matamu. Biar nanti terang, biar nanti rindang, agar hadirmu bisa menjadi tempat meneduh untuk semua orang. Tak ada yang salah, hanya mungkin kamu lelah untuk mengubah. 

 Pada dasarnya setiap percobaan adalah sebuah harapan. Yang dimana harapan itu bisa terbang dan juga patah, tergantung bagaimana kamu merawatnya. Kalau terlalu keras bisa patah, dan kalau terlalu lembut juga bisa manja. Jadi, sekarang tidak perlu untuk pura-pura bahagia. Jika menangis bisa membuatmu tenang, maka menangislah. Jika menghilang menjadikanmu aman, maka pergilah. Kamu tidak harus memaksa apa-apa yang tidak semestinya. 

 Rindulah barang sejenak, rindukanlah lagi sosok dirimu yang dulu. Kemana kamu yang pernah gagah? Kenapa sekarang tak nampak? Apa semesta terlalu mengekang? Atau mungkin masalah-masalah yang datang, merebut jiwamu yang pernah tenang? Seseorang hanya butuh makan ketika dia lapar, seseorang hanya butuh minum ketika dia haus. Sesederhana itu saja sebenarnya. Tapi kenapa harus repot saat makan tak ada yang mengingatkan? Setiap kamu, tidak butuh perintah untuk melakukan hal-hal yang semestinya, hanya sedikit nikmati setiap udara yang kita embus, akan menjadi indah karena kita tahu bagaimana caranya memeluk semesta. Tuhan sudah memberikanmu waktu 24 jam untuk bernapas, untuk sekadar lima menit berterima kasih saja kita sering lupa.

  Manusia kadarnya hanya meminta, dan Setiap jalan yang sudah terbentuk itulah hasil ciptaan karya Tuhan yang paling sempurna. Dari kisah rumit yang kadang menyengsarakan, dari perihal rumah yang kadang tidak seharmonis dengan yang lainnya, sampai kisah kasih yang belum jelas di mana titik bahagianya, kita tidak pernah tahu apa-apa yang telah ada di depan sana, meski samar-samar kewajiban kita hanya berusaha. Jika tak bisa berlari, tak mengapa sambil berjalan pelan-pelan dan berhenti sejenak, siapa tahu sebentar lagi sampai. Gagal itu kisah, sedangkan usaha itu goresan-goresan luka yang akan mewarnai sebuah kisah. Cerita tidak akan indah tanpa jatuh, patah, menunggu, hilang, bahkan lebam. Semoga ceritamu bisa berakhir menyenangkan, senang bisa membantu untuk menenangkan. 

Rindu

Sebagian orang percaya bahwa ‘seseoranglah’ yang menjadi titik fokusnya. Namun mereka lupa, bahwa rindu itu terjadi tak lepas dari sebuah kenangan manis. Tanpanya, bagaimana bisa disebut rindu?

Benci.

Sebagian orang percaya bahwa ‘seseoranglah’ yang menjadi titik fokusnya. Namun mereka lupa, bahwa benci itu terjadi tak lepas dari sebuah kenangan pahit. Tanpanya, bagaimanapun bisa disebut benci?

Sunday, June 23, 2024

CERPEN #2

 Tarian Menuju Langit

Oleh Misterherisugi


  Pernah mendengar tentang ungkapan, "Jika Tuhan rindu dengan hambanya, maka Ia akan memanggil pulang hamba kesayangannya?” Ya, ini berlaku pada keluargaku. Babeh begitu aku menyebutnya, seorang Ayah yang kukagumi karena kerja keras menghidupi anak istrinya, kini telah wafat dengan membawa penyakit livernya. Meninggalkan Bunda, aku, Nabilla, dan Reynan. 

 "Qory, Babeh titip Bunda dan adik-adikmu ya, Nak," ucapnya berbisik ditelingaku. 

  Kata-kata pamungkas dari orang yang sudah menyerah dari perjuangan melawan penyakit. Tentu saja setelah berbisik, dia pun mengucap nama Tuhan yang kami sembah. Suaranya kecil, luruh, dan suaranya semakin menghilang. Babeh tak bernyawa. 

 Babeh telah pergi mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia yang fana ini pada sang Mahapencipta semesta alam. Setega itu Babeh pergi, meninggalkan kami yang sedang kesusahan. Adik Bungsuku baru saja berusia dua bulan, dan utang yang masih menumpuk di sana-sini.

  Aku duduk di teras rumah yang tak beratap dan memandang bulan yang sedang dikelilingi awan gelap tanpa henti. Terus memandang dengan pikiran yang entah berapa banyak tertimbun di kepalaku. Lulus Sekolah akhir di tahun pandemik karena Covid-19 ini membuat perusahaan banyak yang menolakku. Alasannya hanya karena sedang dalam masa krusial, katanya. Di sinilah aku, terpaku memandangi bulan sambil terus berharap Tuhan memudahkanku dari segala urusan hidupku.


***


"Qory, sini Nak! Bunda mau ngomong sebentar." Panggilnya serius. 

"Ada apa Bundaku yang paling cantik sejagat raya?" godaku menghampiri dan menatapnya.

"Nak, Bunda mau nyuci di rumah Bu Nisa. Lumayan gajinya buat sehari-hari."

"Tapi Bunda baru aja lahiran. Bu Bidan juga nyuruh Bunda istirahat dari kerja berat selama tiga bulan."

"Bunda kuat, kok. Bunda juga udah bisa jalan jauh, bisa ngelakuin aktifitas seperti biasanya."

"Tapi ..."

"Kamu harus percaya sama Bunda, Nak," ucapnya memotong keraguanku.

"Nanti yang jaga Reynan siapa, Bun? Qory juga kan seharian sekarang bantu-bantu di bengkelnya Mang Midin."

"Bunda udah izin sama Bu Nisa buat bawa Reynan. Bu Nisa setuju, kok."

"Ya udah kalau gitu, nanti aku bawa Nabilla setiap ke bengkel. Tapi Bunda janji ya, kalau Bunda ngerasa sakit, Bunda harus berhenti."

"Iya Bunda janji." 

 Pada akhirnya, kami saling sibuk mencukupi kehidupan sehari-hari untuk membayar semua sisa-sisa utang yang menumpuk. 

 Gaji kami tak banyak memang, namun bisa mengurangi utang yang menumpuk itu. Satu langkah panjang kami ambil, motor kesayangan Babeh mau tak mau kami jual untuk melunasi utang ke Pak Jhon, teman Babeh. Dia mendesak kami untuk melunasi utang secepatnya. 

"A, Billa mau beli agel." Ucapnya dengan cadel.

 Iya, Nabila baru saja berusia tiga tahun. Imut, lucu, dan menggemaskan. Ada-ada saja tingkahnya yang membuatku selalu tersenyum dan sejenak melupakan kegelisahan hidup.

"Mau beli ager? Emangnya doyan?" 

"Iya doyan, beli catu aja." Sambil merayuku minta dibelikan. 

"Bang, saya beli agernya satu ya," pesanku pada penjualnya. 

 Aku melanjutkan pekerjaanku untuk memperbaiki motor pelanggan. Satu persatu, motor kuperbaiki bersama Mang Midin. Dia adalah salah satu adik Babeh yang mau menerimaku di bengkelnya.

"Qor, ini bayaran buat bulan ini ya. Dua juta," ia
mengulurkan tangannya.

"Makasih banyak ya, Mang. Saya terima."

"Ini buat Billa sama buat si Reynan," Lanjutnya.

"Ya Allah, Mang. Qory jadi ngerepotin."

 Dua ratus ribu rupiah, Mang Midin memang seringmenambahkan sedikit bayaranku dengan alasan untuk keperluan keponakannya. Padahal kutahu, istrinya Mang Midin selalu memarahinya karena terlalu baik denganku. Pernah suatu hari mereka bertengkar hebat karena membelikan mainan untuk Nabilla.

"Enggak apa-apa, ya udah sekarang pulang udah malam, kasian Billa udah ngantuk, tuh." Ucap Mang Midin dengan senyuman hangat.

"Iya Mang, makasih banyak ya, Mang."

 Kami melangkah pulang, berjalan kaki sambil
bernyanyi lagu kesukaan Nabilla, "Andaikan aku punya sayap …" dan menikmati udara malam.

"Aa, Billa mau punya sayap, bial bisa telbang ..." menatapku lekat sambil melingkarkan tangan mungilnya di leherku.

"Emangnya Billa mau terbang ke mana?"

"Mau telbang ke langit telus ketemu Babeh, bial bisa ajak pulang Babeh."

 Nyess, perjalanan ini terhenti sejenak, kakiku berhenti melangkah, kupandangi wajah Billa yang menggemaskan. Aku tersenyum sambil mengecup keningnya dan berkata, "Aa enggak bisa bikin sayap, tapi Aa bisa bikin pesawat kertas. Nanti Aa buatin buat Billa, terus kita terbangin ke langit ya, mau?"

"Mau, A. Asyik… yeee!" ucapnya kegirangan.


***


 Malam ini bulan purnama tak terlihat jelas, embusan angin perlahan datang dan semakin dingin. Ya, malam ini hujan turun lebat, rintikan yang kulihat semakin deras, jatuh, dan membasahi bumi. Aku dan Nabilla tiba terlebih dahulu di rumah. 

 Sembari menunggu Bunda dan Reynan pulang, kubersihkan rumah dan menyiapkan air untuk mandi. Nampak jelas raut wajah adik perempuanku bahagia sekali memainkan pesawat kertasnya, ia terbangkan ke sana dan ke sini. Pesawat kertas itu pun mengikuti jalan angin di mana ia diterbangkan. Hingga ponsel lusuhku berbunyi nyaring, dari Bu Nisa rupanya.

“Assalamualaikum warahmatullah,” ucapnya agak kebingungan.

“Waalaikumussalam, Bu. Ada apa?”

“Qor, kamu bisa ke rumah? Ibumu pingsan.”

 Mendengar itu, aku langsung menggendong Nabilla dan berlari secepat mungkin untuk menuju rumah Bu Nisa. Langkahku gontai, raut wajahku tak karuan, berlari dengan sekuat tenaga di atas guyuran hujan deras. Nabilla yang kudekap hangat ia memeluk tubuhku erat di dalam jaketku. 

 Hujan terus turun membiaskan air mata dan membiarkan mataku memerah. Hati dan perasaan semakin guncang dan gelisah, bibirku tak mampu terucap.

“Ya Rabb, jangan kau biarkan aku tanpa Bunda.” Batinku.

“Assalamualaikum, Bu.” Aku mengetuk pintunya dengan kecang, bajuku basah kuyup.

“Waalaikumussalam, masuk, Nak.” Ucapnya.

 Aku melihat beberapa tetangga Bu Nisa yang telah datang dan dokter dari klinik depan jalan yang sedang memeriksa ibuku. Mendekatinya tanpa mengeringkan pakaian, dan menatap Bunda.

“Dok, bagaimana keadaan Bunda saya?” tanyaku dengan derai air mata.

“Vertigo Bundamu kambuh Qor, dia anfal dan tidak terkendali. Qory yang sabar ya, Bunda udah enggak ada. Bunda udah tenang di sisi Allah.”

 Tangisku pecah, dadaku sesak, aku benar-benar tak bisa menahan teriakanku. Buliran air mata terus jatuh dari pipiku. Memeluk Bunda adalah hal yang kulakukan sekarang. Hancur, tak terima, marah, dan kecewa.

“Bunda…” aku menangis sejadi-jadinya.

 Sejahat itukah semesta? Mengambil Bunda di saat aku baru saja kehilangan Babeh. Mengapa Bunda tega meninggalkanku dan juga adik-adikku di hidup yang penuh keluh ini, Tuhan? Dadaku sesak, napasku terpenggal, kupeluk erat tubuhnya, dan kucium keningnya, berharap Bunda terbangun dari tidurnya.

“Qory, sudah Nak, ikhlaskanlah. Bundamu sudah tenang, Nak.”

 Namun, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menangis memanggil-manggil ibuku. Hujan semakin deras, sederas itu juga kesedihanku.


***

 
 Sekarang ini, kehidupan telah menarik seorang anak dari tempat bermainnya. Membawa nampan berisi harapan dan dibiarkan begitu saja. Saat aku bertanya, “Untuk siapa?” Bunda hanya bilang, “Itu untuk aku.”

“Bagaimana cara menikmati harapan kalau tanpa restumu?” kataku sambil mengusap rambutnya. Ya, yang kuusap rambutnya, tapi yang runtuh air matanya. 

 Katanya, “Anakku sudah bukan anak-anak lagi. Kamu telah besar dan gagah dalam berjalan, Nak. Termasuk ketika kamu meninggalkan rumah untuk membantuku bekerja seharian. Dalam genggamanku dulu, kamu sering menangisi balon yang terbang ke udara namun sekarang dalam genggamannya kamu menangisi kepergianku.” 

 Kataku, Bunda itu harus kuat, rumah ini menjadi tempat ternyaman untuk pulang, dan dewasaku adalah tentangmu. Membuatmu tersenyum di masa senja dan duduk manis di teras dengan teh hangatmu. Katamu dulu, aku ini adalah laki-laki tangguh, anak kecil yang paling pintar di kelasnya, yang selalu bangga atas hasil lukisanku. Walaupun buruk, menurutmu hasil karyaku adalah yang terbaik. Katamu dulu, aku disuruh cepat besar. Diceritamu menjadi dewasa itu nampak sangat
menyenagkan. Di saat aku bisa memilih apa yang aku sukai, saat semua orang menaruh harap di pundakku. Namun nyatanya kini aku tidak tumbuh menjadi dewasa.

 Bunda, diceritaku menjadi dewasa tidak seramah seperti yang kau ceritakan dan tak semudah itu menentukan pilihan. Karena yang aku sukai belum tentu mau menyukaiku. Tapi ada satu yang benar, perihal semua orang menaruh harap di pundakku. Bunda, maaf aku belum bisa setegar dan setangguh yang Bunda harapkan.


CERPEN

 Kisah adalah sebuah kenangan yang di dalamnya ada kesedihan, kebahagiaan, kekecewaan, bahkan sebuah pelajaran. Kali ini saya akan membagikan sebuah cerita pendek untuk sama-sama kita baca dan ambil pelajaran (hikmah) dalam cerita ini. Selamat membaca. 

PENANTIAN DAN HARAPAN


 Pagi itu, ketika udara terasa basah oleh embun pagi, aku memulai rutinitas mingguanku menjelajahi kota. Dengan berbekal sepatu sport, aku pun melesat menyusuri jalan setapak sekitar rumahku. Belum seratus meter aku berlari, lagi-lagi hal yang sama seperti minggu lalu kembali terulang. Aku melihat seorang gadis muda sedang menyusuri gang sempit yang ada di pertigaan jalan besar. Itu menjadi hal yang aneh mengingat gang sempit yang ia masuki adalah gang buntu yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Benar-benar sangat aneh pikirku, tetapi aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan langkah kakiku.

 Sudah tiga minggu sejak hari itu, dan sudah tiga kali pula aku mendapatinya masuk ke dalam gang buntu yang sama. Rasa penasaran sudah tak mampu lagi ku tahan, dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran yang kuat, aku mengikutinya. Ketika memasuki mulut gang, aku sempat terganggu dengan jalannya yang basah dan bau sampah. 

“Hei, tunggu...” kataku.
Gadis itu terus saja tidak mengacuhkanku dan 
menyusuri gang sempit. Setelah aku mengikutinya sampai ujung gang, aku kembali menegurnya. Tampak dia sedikit terkejut ketika melihat wajah asingku. Aku pun mencoba mencairkan suasana. “Hey, kamu lagi ngapain?” ucapku basa-basi.

 Dengan wajah tenang tanpa ekspresi, dia pun mengabaikanku dan meletakkan bungkusan kecil yang dibawanya. Beberapa saat kemudian, beberapa ekor anak kucing yang nampak kumal mengerubungi bungkusan yang dibawa gadis tersebut. Gadis itu mengangkat seekor anak kucing berwarna hitam dan mulai mengelusnya. Seketika, untuk sesaat aku merasakan kehangatan terpancar di wajahnya. Begitu lembut, tenang, dan syarat akan kebaikan. Inilah kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku sejak ibuku meninggal lima tahun yang lalu.

“Kucing-kucing ini dibuang pemiliknya dan tidak punya tempat tinggal atau tempat singgah yang layak.”Katanya membuyarkan lamunanku.

“Ah, jadi karena itu kamu ke sini setiap minggu? Untuk memberi makan mereka?” tanyaku.

“Yah begitulah, dan hampir setiap hari aku ke sini. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk mereka, tak bisa lebih.”

“Ehmm begitu, oh ya, aku Ramdan.”

“Irsa.” Jawabnya pendek.

 Inilah perkenalan kecil kami yang merupakan awal baru dalam kehidupanku. Tanpa terasa hari telah sore ketika aku akan mengakhiri bincang-bincangku bersamanya. Entah kenapa aku begitu tertarik dengannya.

 Setelah beberapa kali bertemu, aku semakin akrab dengan Irsa. Di suatu sore aku mengajaknya pulang dengan motor ninjaku. Di jalan yang lenggang itu, kucoba membuatnya berkesan dengan kemampuan berkendara. Kupacu motorku dengan kecepatan maksimal. Tanpa kusadari, mobil sedan yang ada di depanku berhenti mendadak. Dengan kecepatan seperti ini, mustahil bagiku menghentikan laju motorku. Aku berinisiatif mengambil sedikit badan jalan bagian kanan untuk menghindarinya. Tiba-tiba sebuah mobil pickup dari arah berlawanan menabrak motorku, aku dan Irsa terpental jauh beberapa meter. Di sana, aku tak sadarkan diri.

 Aku terbangun di ruangan serba putih yang 
kuyakini sebagai rumah sakit. Tiga tulang rusuk dan kaki kananku patah, serta banyak memar di sekujur tubuhku. Lalu bagaimana dengan Irsa? Aku begitu terkejut dan tak percaya dengan semua ini. Irsa tidak selamat. Tidak hanya perasaan sedih, aku juga merasa kecewa, marah, gundah dan menyesal dengan semua yang terjadi. 

 Ketika pemakaman Irsa berlangsung, aku sedikit terkejut melihat banyaknya orang dari segala penjuru yang datang. Terutama karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim piatu disekitar rumah Irsa. Memang, aku baru mengenal Irsa selama tiga minggu, dan hanya dalam selang waktu itu aku merasa telah sangat mengenalnya, aku tidak meragukan keramahan dan kebaikan hatinya. Namun ternyata dia lebih dari yang kubayangkan.

 Selama ini dia tidak hanya peduli terhadap lingkungannya, ia juga ternyata aktif mengurusi anak-anak itu. Mulai dari makan, hingga sekolah mereka. Aku kagum sekaligus malu padanya. 
Kagum karena kesediaannya untuk berbagi dengan orang lain dan malu karena selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sadar bahwa selama ini aku hidup sebagai pecundang yang tidak berarti. Aku termenung dan berpikir jika Irsa hidup demi anak-anak itu, lantas aku hidup demi apa? Demi siapa?

 Sekarang aku tidak punya siapa-siapa di hidupku, kecuali Irsa, Irsa Anindiya Misti. Jadi aku putuskan akan hidup demi Irsa dan harapan-harapannya akan dunia. Aku tidak lagi gundah, karena aku punya alasan untuk hidup. Dengan langkah pincang aku meninggalkan pemakaman sambil berucap dalam hati, “Demi dunia … demi Irsa, Wanita yang kucintai.”